Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Senin, 21 Februari 2011

KAPITALISASI KEKUASAAN DI DANA MBOJO (Drama Penolakan Industri Pertambangan oleh Masyarakat Bima)

PERTAMBANGAN DI NEGERI INI ADALAH MIMPI BURUK BAGI RAKYAT. Hal ini adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan, baik itu dari pengalaman di beberapa daerah maupun dari data yang tersajikan oleh pemberitaan media, data dari LSM Pecinta lingkungan dan juga aksi massa yang menolak pertambangan. Cukuplah PT. Freeport, PT. Newmont sebagai contoh kegagalan yang bisa kita ambil hikmahnya. Sekedar mengingatkan; Sejak 1973 hingga 1987 atau hanya dalam waktu 14 tahun saja, Gunung Ertsberg di Papua sudah berubah menjadi sebuah lubang raksasa sedalam 200 meter dengan garis tengah sekitar 600 meter. Padahal sebelumnya gunung ini tingginya mencapai 1300 meter. Hasilnya kini Gunung Ertsberg yang oleh orang Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel, telah berubah menjadi sebuah lubang raksasa atau Danau Wilson. Hal yang sama juga terjadi di Pulau Sumbawa atas eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara.
Telah banyak hal yang mengajarkan kepada kita ini bagaimana bangsa ini tercabik-cabik ekologi, perekonomian, bahkan harga diri bangsa yang tergadaikan akibat penjajahan ideology neoliberalisme melalui kapitalisasi oleh penguasa. Hal ini juga merupakan suatu bentuk pelanggaran hak azasi manusia berupa perampasan hak hidup masyarakat serta pelanggaran terhadap konstitusi, yang mengamanahkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, serta bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini pula yang sedang melanda daerah kita tercinta; Bumi Maja Labo Dahu.
Potensi alam yang terkandung di Bumi Maja labo Dahu rupanya cukup menggiurkan investor, baik investor nasional maupun internasional. Hal ini disebabkan banyaknya sumber mineral yang berkualitas dan termasuk cukup besar di Provinsi NTB. Kabupaten Bima memiliki potensi emas dan kandungan bijih besi yang tersebar di beberapa kecamatan, antara lain Ambalawi, Wera, Belo, Parado, Sape, Lambu dan beberapa lokasi lainnya. Hal inilah yang kemudian menarik minat investor local maupun asing untuk datang.
Penguasa Kabupaten Bima pun ibarat mendapat “durian runtuh”. Penguasa daerah memberlakukan politik kebijakan yang sarat dengan paradigm ecodevelopmentalism yang menguntungkan pihak investor di satu pihak dan meminggirkan masyarakat dan kepentingan ekologis di pihak lainnya. Ekskalasi penolakan masyarakat melalui demonstrasi di pelbagai kecamatan tidaklah menghentikan kepongahan rezim penguasa daerah untuk segera mencabut dua (2) ijin yang telah diberikan untuk PT. Indo Mineral Citra Persada (IMCP) 14.318 ha, dan PT. Sumber Mineral  Nusantara (SMN) yang menguasai lahan seluas 24.980 ha. Penguasa kabupaten Bima dalam hal ini tengah mempraktekkan “penggadaian” asset dan kekayaan alam daerah dengan cara membangun menara gading yang dibangun di atas tulang belulang rakyat dan kepentingan ekologis yang terbinasa oleh politik kebijakan yang pro pemilik modal.
Usaha akserelasi pembangunan pada jalur pintas sektor pertambangan merupakan kebijakan yang  pragmatis karena mengabaikan dan seolah acuh akan efek yang ditimbulkan pada lingkungan dan kehidupan masyarakat di masa depan. Setidaknya ada dua hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan kita, pertama:  eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas maupun pasir besi di kawasan tersebut akan merampas akses rakyat terhadap sumber-sumber kehidupannya.Jika ekploitasi dilakukan maka akan berkibat pada hancurnya ekonomi rakyat. Terpinggirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupannya akan menyebabkan terjadinya kemiskinan yang semakin akut. Pertambangan adalah candu  bagi masyarakat, pada awalnya warga  disuguhi janji manis, misalnya lapangan kerja meski harus menjadi kuli, tetapi ke depan secara bertahap tidak dipakai lagi. Kedua, ekploitasi serta eksplorasi tambang emas dan pasir besi juga akan menghancurkan keseimbangan ekologis dan akan mengancam keselamatan warga karena pengerukan bahkan penggalian secara berlebihan akan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, banjir, dan longsor.
Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang. Limbah tailing merupakan produk samping, sisa hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung zat-zat beracun yang sangat berbahaya bagi manusia dan ekosistem di sekitarnya.
Penguasa di daerah ini seharusnya bisa belajar dari pengalaman di daerah lain. Industri pertambangan di Indonesia belum mampu menyejahterakan masyarakat lokal. Daerah-daerah industri pertambangan merupakan daerah dengan angka kemiskinan tertinggi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Daerah-daerah tersebut di antaranya Papua, Papua Barat, Aceh, dan Riau (Kompas, 7/ 01/ 11).
Sektor industri pertambangan, energi minyak dan gas bumi sebagai salah satu sumber daya alam tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional pemanfaatan dan pengelolaannya diharapkan dapat dilakukan secara bijaksana dengan mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memerhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan penataan ruang, budaya masyarakat lokal.
Pemerintah (termasuk Pemerintah Daerah) berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).
Penguasa di kabupaten Bima seharusnya mengambil pelajaran dari daerah lain serta lebih sensitive dan aspiratif mendengar suara rakyatnya. Ajarkan kepada mereka keteladanan, libatkan masyarakat melalui sosialisasi dan pembelajaran yang mendidik agar masyarakat bisa memahami persis pangkal permasalahan, proses politis, dan tujuan suatu kebijakan sehingga tidak terjadi aksi penolakan yang berakhir anarkis. Jangan biarkan masyarakat sibuk terlibat (atau dilibatkan secara adu domba) dalam debat kusir yang pada skala tertentu sudah sangat mengkhawatirkan. Aksi massa yang menolak pertambangan dihadang dengan cara premanisme yang barbarian, sungguh aspirasi rakyat terpinggirkan di sini, diganti oleh kepentingan ekonomi penguasa yang kemaruk.
Lihatlah demonstrasi penolakan kehadiran kegiatan pertambangan yang terjadi di seantero kabupaten Bima. Penolakan oleh masyarakat Belo, Wera, Parado, dan terakhir di Kecamatan lambu yang berakhir ricuh seharusnya menjadi cermin bagi Bupati Bima. Perlu adanya intropeksi diri oleh pemerintah, bercermin melongok ke dalam menanyakan kepada hati yang terdalam; “kepentingan siapakah yang sedang diperjuangkan..!?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar