Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Selasa, 21 Desember 2010

Penguasaan Hajat Hidup Orang Banyak Dalam Sistem Perekonomian Indonesia

Pengantar
Penyakit akut yang senantiasa mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa adalah masalah keterbelakangan ekonomi. Dalam konteks sesama Negara anggota ASEAN saja, kita masih harus merasa iri jika membandingkan diri dengan Negara jiran kita, Malaysia apalagi Singapura. Derap laju perekonomian serta kesejahteraan masyarakatnya membuat kita berdecak kagum, sementara itu, kita hanya mampu mengelus dada menyaksikan kesenjangan, (atau bahkan) keterpurukan ekonomi masyarakat kita.
Pada saat yang sama kita bisa melihat, berbagai permasalahan struktural lainnya kian menyeruak, seperti daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi. Dalam hal ini, kita hanya bisa mengelus dada seraya bertanya-tanya dengan penuh rasa heran, ketika kita dengan mata telanjang menyaksikan “perampokan” asset Negara oleh para pemilik modal. Mulai dari drama penguasaan dunia pertambangan, energy gas dan minyak  bumi, yang dikuasai oleh pihak asing seperti  PT. Freeport, PT. Newmount, Exxon Mobil hingga yang terbaru skandal penjualan saham PT. Krakatau Steel, yang oleh beberapa tokoh diibaratkan sebagai “pembodohan” yang keterlauan terhadap wibawa bangsa.
Kita semua tahu bahwa ada yang tidak semestinya berjalan di negeri ini, ada ketimpangan yang mencengangkan nalar kita. Sulit untuk memahami secara waras, ketika kita  mengetahui bahwa para pemodal asing diberikan hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Tanah sebagai asset termahal, dapat diserahkan kepada pemilik modal (pihak asing) hingga mendekati satu abad. Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dan terus berpidah tangan kepada para pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad. Indonesia for sale.[1]
Berkaitan dengan hal ini, salah satu hal yang bisa ditunjuk sebagai faktor yang turut memengaruhi kebijakan perekonomian Negara adalah ideology neoliberalisme yang membonceng wacana globalisasi. Sejak awal abad 20, wacana globalisasi ramai berdengung di atas kepala kita, menjadi bahasan yang sangat lumrah di warung-warung kopi, pasar, sekolah, hingga mall dan perkantoran. Kita menyaksikan bagaimana pasar lokal telah terintegrasi dengan pasar internasional. Sektor kebutuhan pokok dilawankan dengan pasar karena merupakan kebutuhan sosial yang tingkatnya lokal. Sedikit demi sedikit, kebutuhan pokok itu, seperti pangan berkembang menjadi kebutuhan masyarakat internasional dan dijual di pasar ekspor. Pada saat yang bersamaan perekonomian nasional ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri terhadap barang-barang kebutuhan pokok itu. Indikatornya adalah Indonesia hingga saat ini masih mengimpor bahan-bahan pangan yang pokok seperti beras, palawija, gula, garam, daging dan hortikultura. Padahal sektor pertanian secara teoritis mampu memenuhi kebutuhan pokok itu dan masih bergantung pada impor.
Impor 6 komoditi pangan 2010 (Kompas, 19/06/2010):[2]
      Beras 324 juta dollar AS (Rp 3,24 triliun) (Detik, 04/12/2010)
      Kedelai 595 juta dollar AS (Rp 5,95 triliun)
      Gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun)
      Gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun),
      Daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun)
      Susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun)
      Total nilai impor 6 komoditi utama + komoditi minor =   Rp. 55 triliun
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicitakan bersama. Salah satu masalah dasar yang menjadi amanah dalam konstitusi kita seperti yang telah terumus dalam pembukaan UUD 1945 adalah Kesejahteraan. Namun hingga saat ini, setelah lebih dari 65 tahun Indonesia merdeka masih tetap menjadi angan yang belum membumi, dengan kata lain kesejahteraan dan keadilan social yang dicitakan oleh founding fathers kita masih jauh panggang dari pada api. Cita-cita nasional Indonesia sebagaiman dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut.
Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).

Permasalahan
Telah lebih dari enam decade Negara kita merdeka, namun hingga saat ini kita masih berkutat pada berbagai permasalahan ekonomi mendasar yang tak kunjung terselesaikan, seperti kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan, dan infrastruktur dasar. Hal ini merupakan masalah utama bangsa Indonesia, “kemiskinan” dengan segala embel-embel yang menyertainya ini dianggap sebagai masalah bersama karena merupakan antithesis dari ”kesejahteraan” yang merupakan amanat nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi Negara kita. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan social warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.  
Jimly Asshidqy mengatakan bahwa terlepas dari semua harapan ke arah reformasi, demokratisasi, dan liberalisasi, konsep Negara kesejahteraan menjadi masalah dasar yang perlu direnungkan. Pentingnya perenungan ini dibuktikan Jimly dengan angka bahwa 32% produk UU dan PP (319 buah) mengenai kebijakan ekonomi yang ditetapkan antara tahun 1967-1983 hanya 11,6% yang merujuk kepada pasal 33 UUD 1945.[3]
Amin Rais (2008) menyatakan bahwa meski telah lebih dari 60 tahun Indonesia merasakan “kemerdekaan” dan “kedaulatan”, sejatinya semua itu masih bersifat semu. Jika dahulu pendudukan militer telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, social, hukum dan pertahanan. Amin menyatakan bahwa meski saat ini pendudukan militer seperti di atas tidak kelihatan, namun dalam kenyataannya, bangsa kita tetap bukanlah sebagai bangsa yang berdaulat serta kehilangan kemandirian, yang sampai batas yang cukup jauh, kita juga kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap bergantung dan menggantungkan diri, yang sampai batas yang cukup jauh, kita juga kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap bergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing.[4]  
Table ironi amanat pasal 33 UUD 1945. 
No
Amanat Konstitusi
Realita
1
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan
·         Kekuatan modal (kapitalism) dengan membonceng ideology Neolib atas nama kebebasan (pasar) menguasai hampir seluruh sendi perekonomian.
·         Konglomerasi keluarga menjadi kekuatan dominan yang menguasai perekonomian Negara.
2
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
Dengan dalih privatisasi Negara sama sekali tidak “menguasai” cabang produksi penting seperti industri telekomunikasi, baja, dll.
3
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat
·         Industri pertambangan (Freeport, Newmount);
·         Perminyakan (Caltex, Chevron, Exoon Mobile, Petronas, dll)
·         industri produksi air mineral (Aqua Danone, Nestle Ades, dll), dikuasai asing.
·         pencurian ikan oleh nelayan asing, dll. 

Telah kami nyatakan di atas, bahwa salah satu hal yang bisa ditunjuk sebagai faktor yang turut memengaruhi kebijakan perekonomian neolib adalah globalisasi. Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang filosof yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai penganut faham individualis dan pembela kaum industri, Smith mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu menggenahi dirinya sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memeroleh keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri.
Ide pasar-bebas sebenarnya sudah ditolak sejak tahun 1926, namun menurut (Amin Rais: 2008, Sri Edi Swasono: 2010)[5] tidak mudah bagi sekelompok ekonom fundamentalis pasar melepaskan diri dari mitos tangan ajaib (the invisible-hand) dan pasar-bebas (free-market) senyawanya ini. Setiap kali dituntut berakhirnya pasar-bebas (the end of laissez-faire), setiap kali pula doktrin fundamentalisme pasar, sebagai cerminan paham individualisme self-interest dan liberalisme, muncul kembali. Intinya adalah bahwa pasar tidaklah self-regulating, tidak self-correcting, penuh market failures, terutama dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural. Peran pasar memang penting, tetapi harus dikontrol Negara, sistem pasar-bebas perlu diwaspadai, kegagalan pasar yang terlalu sering terjadi. Bagi Pasal 33 UUD1945 pasar haruslah ramah kepada rakyat dan kepentingan nasional, bukan sebaliknya negara yang harus tunduk dan ramah kepada pasar atau pun posisi rakyat direduksi dan tersubordinasi oleh kepentingan pasar.
Dalam konteks keindonesiaan, hal ini berjalin kelindan dengan issue diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom inilah yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. Mereka sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966. para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.[6]
Sikap pemerintah yang cenderung ramah terhadap pasar dan terkesan tunduk terhadap kepentingan pemodal juga bisa kita lacak misalnya pada perbedaan sikap pemerintah kita terhadap kekuatan korporasi asing dibandingkan Negara-negara lain. Banyak Negara (di Timur Tengah) yang menjadi kaya karena minyak setelah pemerintahnya lebih berani untuk meminta bagian yang lebih layak dalam production-sharing dan profit-sharing ketika berhadapan dengan korporasi minyak dan pertambangan. Sementara Indonesia Nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing. Bahkan Amin Rais menunjuk sikap pemerintah Indonesia ini sebagai kejahatan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan bahkan difasilitasi oleh Negara.[7]

Solusi Alternantif
Telah kita sepakati bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pijakan fundamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Meneguhkan apa yang tertulis dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, pasal 33 dengan sangat jelas memberi petunjuk bahwa pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan merupakan bagian utama dari cita-cita kemerdekaan.
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 
  3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi sistem perekonomian yang cenderung semakin bebas bahkan kebablasan adalah sistem ekonomi kerakyatan yang dipopulerkan oleh Profesor Mubyarto. Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, istilah Ekonomi Kerakyatan menjadi populer sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Mubyarto menyatakan, sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.[8]
Lebih lanjut, Mubyarto menyatakan bahwa sistem Ekonomi Kerakyatan mengacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa Indonesia yang tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan salah satu unsur intrinsiknya adalah Ekonomi Pancasila yang nilai-nilai dasar sebagai berikut:
  1. Ketuhanan, di mana “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”.
  2. Kemanusiaan, yaitu : “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”.
  3. Kepentingan Nasional (Nasionalisme Ekonomi), di mana “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”.
  4. Kepentingan Rakyat Banyak (Demokrasi ekonomi) : demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”.
  5. Keadilan Sosial, yaitu : “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).
Oleh sebab itu, pelaksanaan agenda ekonomi membutuhkan tuntunan dari sebuah ideologi ekonomi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat banyak, yang mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat dengan jalan kesejahteraan, bukan ideologi ekonomi yang menyerahkan urusan publik dan kesejahteraan rakyat pada budi baik investor asing dan segelintir pemilik modal. Pelaksanaan ekonomi kerakyatan membutuhkan komitmen yang kuat untuk melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada pihak luar dan membangun kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Pasal ini adalah merupakan pengejewantahan secara gamblang dari cita-cita nasional Indonesia.
Sektor industri pertambangan, energi minyak dan gas bumi sebagai salah satu sumber daya alam tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional pemanfaatan dan pengelolaannya diharapkan dapat dilakukan secara bijaksana dengan mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan penataan ruang, budaya masyarakat lokal.
Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa pemanfaatan berbagai sumber daya alam haruslah dilakukan dengan arif sehingga tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya dapat tercapai. Namun sayangnya menurut hemat kami pemihakan dan perlindungan pada sektor ekonomi rakyat masih sangat minim. Ini mengindikasikan bahwa selama ini juga ada pemihakan dan perlindungan, sayangnya pemihakan tersebut ditujukan bagi kalangan ekonomi besar (konglomerat) dengan dukungan fasilitas dari birokrasi. Begitu pula perlindungan bagi mereka berupa berbagai proteksi dan tax holiday. ekonomi kerakyatan membutuhkan political will pemerintah berupa pemihakan dan perlindungan bagi jaminan terselenggaranya aktivitas secara berkesinambungan di seputarnya.[]

*******

Daftar Bacaan:

Fahri Hamzah. 2007. Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat. Yayasan Faham Indonesia, Jakarta
George Junus Aditjondro. 2010. Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Century. Galang Press, Yogyakarta.
Jimly Asshidqy. 1998. Pidato pengukuhan Guru Besar FH UI, Undang-undang Dasar 1945, Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta,
Mohammad Amin Rais. 2008. Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia. PPSK Press, Yogyakarta.
Murdijati Gardjito, Ryan Salfarino. Makalah Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Berkedaulatan, Gerbang Kesejahteraan Bangsa. Disampaikan pada Seminar Nasional KAGAMA 17-18 Desember 2010. Jalan Menuju Kesejahteraan Persembahan KAGAMA untuk Indonesia.
Mubyarto, Pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia, [Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003]  Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada 9 Desember 2010. 
Revrisond Baswir. Makalah Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Diakses pada 16 Desember 2010.
Satjipto Rahardjo (Ufran,ed). 2010. Sosiologi Hukum; Esai-esai Terpilih. Genta Publishing, Yogyakarta.
Sofyan Efendi, dkk (ed). 2003. Curah Gagas dari Bulak Sumur; Meluruskan Jalan Reformasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.  
Sri Edi Swasono. 2010. Testimoni Permohonan Judicial Review UU No. 30 Tahun 2009 oleh DPP SP-PLN Tentang Ketenagalistrikan berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

*******


[1]M. Amin Rais. Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 260.
[2] Murdijati Gardjito, Ryan Salfarino. Makalah Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Berkedaulatan, Gerbang Kesejahteraan Bangsa. Disampaikan pada Seminar Nasional KAGAMA 17-18 Desember 2010. Jalan Menuju Kesejahteraan Persembahan KAGAMA untuk Indonesia
  

[3] Pidato pengukuhan Guru Besar FH UI, Undang-undang Dasar 1945, Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta, 1998, hal. 18.
[4] Lihat M. Amin Rais, Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 1-2.
[5] Testimoni Sri-Edi Swasono. 2010. Permohonan Judicial Review UU No. 30 Tahun 2009 oleh DPP SP-PLN Tentang Ketenagalistrikan berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
[6] Revrisond Baswir. Makalah Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Diakses pada 16 Desember 2010.
[7] M. Amin Rais, Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 258.
[8] Mubyarto, Pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila di tengah praktek liberalisasi ekonomi di Indonesia, [Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003]  Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada 9 Desember 2010. 

Minggu, 21 November 2010

Manusia, Alienasi dan Tasawuf

Muqaddimah
Para pakar psikologi sepakat bahwa problematika alienasi (keterasingan manusia dari dirinya dan lingkungannya) merupakan problema yang teramat serius bagi masyarakat modern. Alienasi adalah salah satu dari jenis penyakit kejiwaan dimana seseorang tidak lagi merasa dirinya sebagai miliknya sendiri melainkan telah terenggut oleh suatu mekanisme diluar dirinya yang tak mampu dikendalikannya lagi. Orang yang dilanda alienasi akan merasakan suatu kebingungan, keterasingan dan kesepian dikarenakan apa yang dilakukannya di luar atas kesadaran dan pikiran bebasnya, melainkan karena kekuatan luar yang tidak diketahui dan dikehendaki menurut perasaan akal sehatnya.
Ini semua diakibatkan manusia sudah terlalu jauh meninggalkan agama sebagai tuntunan hidupnya dan larut dalam pusaran kehidupan dunia. Kalaupun mereka masih mengaku beragama, agama hanyalah menjadi symbol dan mereka hanya memaknainya sebatas menjalankan ritual hampa tanpa penghayatan makna.
Mengutamakan formalitas agama dapat mengakibatkan jiwa amaliah agama itu tidak dapat dirasakan, yang terasa hanyalah kesibukan fisik yang kering dan kurang bermakna. Penghayatan ibadah menghendaki segala gerak, ucapan, dan perbuatan difocuskan kepada Allah semata. Menghayati ibadah membutuhkan kesungguhan, pemahaman, dan latihan yang berkesinambungan. Oleh karena itu ibadah menghendaki penghayatan spiritual.
Kekosongan aspek spiritual inilah yang mendorong manusia modern atau mereka yang telah masuk dalam suatu tatanan masyarakat yang sangat kompleks di era yang disebut modernisasi, industrialisasi, globalisasi, komputerisasi, informasi dan lain sebagainya, untuk melakukan pencarian nilai-nilai spiritualis untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan.
Dari sini, ada suatu upaya dari manusia modern untuk kembali menggali nilai-nilai spiritual dengan pendekatan yang disebut tasawuf, hal ini dipercaya bisa memberikan satu alternative–solutif bagi problema alienasi dan dehumaninsai yang menimpa masyarakat modern.

Tasawuf
Secara etimologi tasawuf  berasal dari beberapa perkataan yang sering dirujuk oleh para ahli. Di antaranya dikatakan bahwa tasawuf diambil dari bahasa arab safa, yang artinya suci – murni, suffah yang artinya pojok atau emperan masjid dan merujuk pada istilah ahlus suffah pada zaman Rasulullah SAW, dan dari kata suf  yang berarti bulu domba, karena merujuk pada kebiasaan para rohaniawan yang biasa memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambing kesederhanaan dan menjauhi kemewahan. Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa tasawuf semakna artinya dengan kata dari bahasa yunani sofia, yang berarti kebijaksanaan. Adapun pengertian terminology  tasawuf, banyak sekali ta’rif (definisi) nya, antara lain:
a)      Tasawuf  ialah sikap seseorang yang merindukan kekasihnya dengan membaringkan diri di pintu rumahnya agar dapat menemuinya.
b)      Tasawuf ialah mementingkan yang hakekat dan bersabar menahan diri dari sifat tamak terhadap apa – apa yang dimiliki manusia.
c)      Tasawuf ialah bahwa engkau sanggup bersama Allah tanpa suatu penghubung.
d)     Tasawuf adalah bahwa engkau tidak merasa memiliki dan di miliki sesuatu.
Tasawuf ditegakkan atas dasar 3 (tiga) prinsip, yaitu:
  1. Prinsip hidup faqir dan selalu memerlukan rahmat Allah.
  2. Prinsip mewujudkan pengorbanan yang sebesar - besarnya demi pencapaian tujuan.
  3. Prinsip hidup pasrah, tanpa membuat pilihan sendiri.
Karena manusia secara utuh terdiri atas jasmani dan rohani, maka keduanya perlu konsumsi. Salah satu bentuk konsumsi adalah ibadah, yang merupakan konsumsi untuk rohani. Ibadah, kalau hanya menekankan aspek formalitasnya saja, maka ibadah itu terasa “kering”, misalnya hanya menekankan syarat, rukun, sah, dan batal tanpa mementingkan penghayatan di dalamnya, maka bukan mustahil amaliah agama itu tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan tidak dapat menumbuhkan ajaran moral.
Mengutamakan formalitas agama dapat mengakibatkan jiwa amaliah agama itu tidak dapat dirasakan, yang terasahanyalah kesibukan fisik yang kering dan kurang bermakna. Oleh karena itu ibadah menghendaki penghayatan spiritual. Penghayatan ibadah menghendaki segala gerak, ucapan, dan perbuatan difocuskan kepada Allah semata. Menghayati ibadah membutuhkan kesungguhan, pemahaman, dan latihan yang berkesinambungan.
Banyak orang yang merasa tidak puas dengan menjalankan ibadah formal dalam menjalani hubungan dengan Tuhan (habluminallah), karena itu mereka menyempurnakan ibadah itu dengan tasawuf yang lebih dapat mendekatkandiri kepada Tuhan dengan sedekat-dekatnya. Sesuai dengan tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan lansung dengan Allah secara sadar sehingga seseorang merasa benar-benar berada di hadirat Allah.
Pada mulanya tasawuf itu mengambil bentuk zuhud dalam arti sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya tasawuf itu digunakan untuyk memperhalus budi pekerti dan sopan santun, ketika manusia mengadakan hubungan dengan Tuhan (habluminallah),dan hubungan dengan manusia (habluminannas).   Perkembangan lebih lanjut, menunjukkan bahwa tasawuf bukan hanya untuk memperhalus budi pekerti yang bersifat akhlaq saja, tapi juga merupakan pandangan hidup yang di sistematisir atas dasar pemikiran yang mendalam dan bersifat falsafah.

Perkembangan Tasawuf  dalam Islam
Pada masa Rasulullah masih hidup, tasawuf  (kata/ istilah itu sendiri belum dikenal pada masa itu) masih berbentuk zuhud, yakni suatu system hidup yang tidak menyukai kemewahan dunia. Pada masa itu tasawuf belum diikat dengan aturan – aturan tertentu dan belum dibatasi dengan tradisi – tradisi tertentu. Sebab pada masa Rasulullah SAW, kehidupann tasawuf sama dengan amal-amal syari’at yang lahir. Antara amal batindan amal lahir bergabung menjadi satu dan tidak ada pemisahan.
Penulis tasawuf dari kalangan sahabat Nabi ialah Huzaifah al-Yamam. Dialah sahabat Nabi yang mementingkan bisikan jiwa, kata batin, damir, dan hati nurani. Tasawuf  dalam masa ini coraknya adalah hidup secara zuhud, sederhana, melakukan amal baik, menjauhi kejahatan, dan hanya menginginkan ganjaran dari Allah semata. Motivasi kegiatan beramal adalah karena mengharapkan sesuatu yang dijanjikan oleh Allah. Dapat disebutkan bahwa tasawuf pada masa ini ditandai dengan rasa peuh pengharapan (raja’).
Tasawuf sunni biasa juga disebut tasawuf ahklaqi karena orang-orang sunni mengamalkan tasawuf untuk memperbaiki akhlaqul karimah. Pada mulanya yang dikenal dalam kehidupan tasawuf adalh zuhud saja, yaitu mementingkan kehidupan sederhan untuk mengabdi kepada Allah. Selanjutnya zuhud ini tumbuh berkembang dengan subur sekali, terutama pada masa terjadinya fitnah dan encana perang saudara di kalangan kaum muslimin pa masa pemerintahan Ustman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Bani Ummayah yang ditegakkan atas dasar keturunan dan kekuasaan.
Pada periode kedua tasawuf ditandai dengan rasa takut atau cemas. Perintisnya adalah Hasan al-Bashri. Beliau mengambil ilmu kerohanian ini dari hudzhaifah. Hasan al-Bashri adalah orang dari kalangan tabi’in yang pertama-tama menyusun metode bicara rohani, cara hidup kerohanian dan menerangkan rahasia kerohanian. Hasan al-Bashri adalah orang pertama yang menunjukkan perhatiannya kearah kehidupan tasawuf. Dia dianggap sebagai pendiri aliran tasawuf karena dia berpendirian bahwa ma’rifat dengan hati adalah jalan iman yang sebaik-baiknya. Pada periode Hasan al-Bashri ini pendorong kehidupam zuhud ialah rasa takut terhadap ancaman api neraka dan murka Allah.
Kehidupan tasawuf pada periode ketiga ditandai dengan rasa cinta. Kehidupan tasawuf pada periode ini tertulis dengan jelas pada kehidupan seorang sufi wanita bernama Rabiah al-Adwiyah. Prinsip ajaran tasawufnya adalah cinta Ilahi, yakni kesediaan mentaati Allah bukan karena menginginkan surga dan bukan pula takut neraka, tetapi semata-mata cinta Allah di atas segala-galanya. Do’anya  yang tersohor dan kerap dikutip untuk melukiskan kecintaannya kepada Allah sarat dengan muatan cinta.
“Ya Rabbi ….. bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka-Mu,
bakarlah diri ini di dalamnaya.
Bila aku menyembah-Mu karena harap ‘kan surga-Mu, jauhkan aku dari sana.
 Namun, jika akau hanya menyembah-Mu hanya demi Engkau,
Maka janganlah Kau tutup keindahan abadi-Mu ….”.
Kemudian diikuti oleh yang lainnya, seperti Zun Nun al-Misri, Haris al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya tasawuf semakin menemukan bentuknya yang lebih jelas dan dianggap salah satu aspek penting pemikiran dan tradisi keilmuan Islam, disamping Fiqh, Kalam, dan Filsafat Islam. Tasawuf pada abad ketiga dan seterusnya mulai mengalami percabangan orientasi: ada yang mengarah kepada tasawuf nazari (falsafi), seperti paham ittihad oleh Abi Yazid al-Bistami, hulul oleh al-Hallaj, dan wihdad al-wujud oleh Ibnu Arabi; adapula yang tetap mempetahankan tasawuf amali (sunni, akhlaqi) seperti al-Qusyairi, al-Ghazali, dan sebagainya; dan ada yang mengarah kepada pembentukan tarekat-tarekat (orde sufi) yang sangat banyak jumlahnya dan berkembang hingga saat ini.

Latihan Pengamalan Tasawuf
Tasawuf pada hakekatnya adalah bagian dari ajaran Islam. Ia merupakan ruh bagi ajaran-ajaran Islam yang bersifat eksoteris dan bentuk spiritualis yang dikembangkan dalam Islam, dimana sumber-sumbernya dapat digali dan ditemukan dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Untuk memperoleh penghayatan tasawuf atau merasakan inti tasawuf, yakni ma’rifatullah, menurut para sufi ada dua jalan, yaitu; melalui maqamat dan ahwal.
Maqam adalah merupakan tingkatan-tingkatan latihan, dengan kata lain, tujuan diatasa dapat diperoleh engan hanya dengan melakukan latihan-latihan batin tertentu yang di ajarkan oleh Nabi. Sedang ahwal adalah anugrah Allah bagi orang-orang yang telah suci jiwanya atau memperoleh ilmu ladduni. Atau dengan konsep lain, yaitu takhalli (mengosongkan diri dari perbuatan jahat), tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan baik), sehingga akan mendapatkan tajalli (penampakan Tuhan; ma’rifat).
Latihan-latihan spiritual yang diajarkan oleh Nabi dan menjadi pegangan kaum sufi sebagai sarana olah batin, yaitu;
  • Taubat , dimana seseorang yang ingin melatih olah rohani harus memulai dengan pernyataan taubat dengan menjauhi kemaksiatan sekecil apapun.
  • Wara’, yaitu meninggalkan semua yang syuhbat atau meragukan tentang halal dan haramnya, yakni latihan untuk selal;u berlaku hati-hati dan berngakat dari keyakinan bahwa yang dimakan, dipakai, dan dibelanjakan adalah betul-betul halal, sehingga kalau sesuatu itu tidak jelas apakah tidak jelas apakah halal atau haram, maka itu akan ditinggalkannya, karena dapat mengotori kesucian hati.
  • Zuhud, yaitu tidak tamak dan tidak ingin mengutamakan kesenangan duniawi. Dalam hal ini kehidupan duniawi tidak akan mengikat hatinya, sehingga melupakan Tuhannya karena kesibukan yang luar biasa. Ajaran ini menyatakan bahwa manusia jangan sampai menjadi budak dunia, tetapi dunialah yang menjadi budaknya (sarana) untuk mengabdi kepada Allah SWT, sehingga andaikata harta yang berlimpah ruah itu lenyap darinya, itu tidak akan mempengaruhi batin dan hatinya dan tidak nampak kesusahan dalam hatinya.
  • Faqir, yaitu seseorang yang mencapai tingkat tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Allah. Sifat orang faqir itu ialah diam saja waktu tak punya apa-apa, dan tidak membutuhkan ketika punya apa-apa. Tanda murka Allah kepada seorang hamba adalah ketakutannya akan faqir.
  • Sabar, yaitu menerima segala bencana atau apaun dengan laku sopan dan rela atau fana’ dalam bala bencana tanpa ada keluhan, yakni tidak ada keluh kesah tanda tak terima terhadap Allah yang telah mentukan apa saja terhadp dirinya.
  • Tawaqqul, yakni pasrah dan bererah diri sepenuhnya kepada Allah melalui jalan hidayah-Nya. Hidayah Allah itulah yang diikutinya dalam hidup ini engan penuh kepercayaan dan kepasrahan mutlak.
  • Ridho, yaitu ajaran dan latihan untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan, karena sikap rela dan senangnya terhadap apasaja yang diberikan Allah dan bentuk persaan cinta yang sangat dalam, sehingga andaikata dimasukkan kedalam neraka sekalipun, tetapi ia mendapat cinta dan ridha Allah maka iapun rela.
Inilah bentuk-bentuk latihan kerohanian dan penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi, dimana seperti kata al-Ghazali, hati itu ibarat cermin (atau radar) yang dapat menerima atau memantulkan cahaya, dengan penuh kepekaan dapat menerima cahaya hidayah ilahi dan dipancarkan untuk kebahagiaan seluruh ummat manusia. Latihan-latihan ini sangat penting dilakukan ummat Islam dalam rangka menciptakan kebersihan dalam seluruh aspek kehidupan. Dan sekali lagi itulah ruh Islam yang dituangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Lalu apa lagi yang harus kita ikuti kalau sudah meninggalkan keduanya.[]
 Wallahu ‘alam bishowab.

*******

Daftar Bacaan:
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din (Mesir: t.p., t.t.)
Abd. Halim Rofi’I. 2000. Tutorial Agama Islam, Unibraw, Malang.
Ahmad Chodjim. 2002. Syeh Siti Jenar Makna Kematian, Serambi, Jakarta.
Rudy Harahap. 2004. 40 Esay Kebeningan Hati Pejalan Rohani, Grafindo, Jakarta.