Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Selasa, 21 Desember 2010

Penguasaan Hajat Hidup Orang Banyak Dalam Sistem Perekonomian Indonesia

Pengantar
Penyakit akut yang senantiasa mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa adalah masalah keterbelakangan ekonomi. Dalam konteks sesama Negara anggota ASEAN saja, kita masih harus merasa iri jika membandingkan diri dengan Negara jiran kita, Malaysia apalagi Singapura. Derap laju perekonomian serta kesejahteraan masyarakatnya membuat kita berdecak kagum, sementara itu, kita hanya mampu mengelus dada menyaksikan kesenjangan, (atau bahkan) keterpurukan ekonomi masyarakat kita.
Pada saat yang sama kita bisa melihat, berbagai permasalahan struktural lainnya kian menyeruak, seperti daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi. Dalam hal ini, kita hanya bisa mengelus dada seraya bertanya-tanya dengan penuh rasa heran, ketika kita dengan mata telanjang menyaksikan “perampokan” asset Negara oleh para pemilik modal. Mulai dari drama penguasaan dunia pertambangan, energy gas dan minyak  bumi, yang dikuasai oleh pihak asing seperti  PT. Freeport, PT. Newmount, Exxon Mobil hingga yang terbaru skandal penjualan saham PT. Krakatau Steel, yang oleh beberapa tokoh diibaratkan sebagai “pembodohan” yang keterlauan terhadap wibawa bangsa.
Kita semua tahu bahwa ada yang tidak semestinya berjalan di negeri ini, ada ketimpangan yang mencengangkan nalar kita. Sulit untuk memahami secara waras, ketika kita  mengetahui bahwa para pemodal asing diberikan hak guna usaha sampai 70, 80, dan 95 tahun. Tanah sebagai asset termahal, dapat diserahkan kepada pemilik modal (pihak asing) hingga mendekati satu abad. Demikian juga hutan-hutan kita juga sedang dan terus berpidah tangan kepada para pemodal asing untuk kurun waktu 75 tahun sampai satu abad. Indonesia for sale.[1]
Berkaitan dengan hal ini, salah satu hal yang bisa ditunjuk sebagai faktor yang turut memengaruhi kebijakan perekonomian Negara adalah ideology neoliberalisme yang membonceng wacana globalisasi. Sejak awal abad 20, wacana globalisasi ramai berdengung di atas kepala kita, menjadi bahasan yang sangat lumrah di warung-warung kopi, pasar, sekolah, hingga mall dan perkantoran. Kita menyaksikan bagaimana pasar lokal telah terintegrasi dengan pasar internasional. Sektor kebutuhan pokok dilawankan dengan pasar karena merupakan kebutuhan sosial yang tingkatnya lokal. Sedikit demi sedikit, kebutuhan pokok itu, seperti pangan berkembang menjadi kebutuhan masyarakat internasional dan dijual di pasar ekspor. Pada saat yang bersamaan perekonomian nasional ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri terhadap barang-barang kebutuhan pokok itu. Indikatornya adalah Indonesia hingga saat ini masih mengimpor bahan-bahan pangan yang pokok seperti beras, palawija, gula, garam, daging dan hortikultura. Padahal sektor pertanian secara teoritis mampu memenuhi kebutuhan pokok itu dan masih bergantung pada impor.
Impor 6 komoditi pangan 2010 (Kompas, 19/06/2010):[2]
      Beras 324 juta dollar AS (Rp 3,24 triliun) (Detik, 04/12/2010)
      Kedelai 595 juta dollar AS (Rp 5,95 triliun)
      Gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun)
      Gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun),
      Daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun)
      Susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun)
      Total nilai impor 6 komoditi utama + komoditi minor =   Rp. 55 triliun
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicitakan bersama. Salah satu masalah dasar yang menjadi amanah dalam konstitusi kita seperti yang telah terumus dalam pembukaan UUD 1945 adalah Kesejahteraan. Namun hingga saat ini, setelah lebih dari 65 tahun Indonesia merdeka masih tetap menjadi angan yang belum membumi, dengan kata lain kesejahteraan dan keadilan social yang dicitakan oleh founding fathers kita masih jauh panggang dari pada api. Cita-cita nasional Indonesia sebagaiman dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut.
Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).

Permasalahan
Telah lebih dari enam decade Negara kita merdeka, namun hingga saat ini kita masih berkutat pada berbagai permasalahan ekonomi mendasar yang tak kunjung terselesaikan, seperti kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan, dan infrastruktur dasar. Hal ini merupakan masalah utama bangsa Indonesia, “kemiskinan” dengan segala embel-embel yang menyertainya ini dianggap sebagai masalah bersama karena merupakan antithesis dari ”kesejahteraan” yang merupakan amanat nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi Negara kita. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan social warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.  
Jimly Asshidqy mengatakan bahwa terlepas dari semua harapan ke arah reformasi, demokratisasi, dan liberalisasi, konsep Negara kesejahteraan menjadi masalah dasar yang perlu direnungkan. Pentingnya perenungan ini dibuktikan Jimly dengan angka bahwa 32% produk UU dan PP (319 buah) mengenai kebijakan ekonomi yang ditetapkan antara tahun 1967-1983 hanya 11,6% yang merujuk kepada pasal 33 UUD 1945.[3]
Amin Rais (2008) menyatakan bahwa meski telah lebih dari 60 tahun Indonesia merasakan “kemerdekaan” dan “kedaulatan”, sejatinya semua itu masih bersifat semu. Jika dahulu pendudukan militer telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, social, hukum dan pertahanan. Amin menyatakan bahwa meski saat ini pendudukan militer seperti di atas tidak kelihatan, namun dalam kenyataannya, bangsa kita tetap bukanlah sebagai bangsa yang berdaulat serta kehilangan kemandirian, yang sampai batas yang cukup jauh, kita juga kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap bergantung dan menggantungkan diri, yang sampai batas yang cukup jauh, kita juga kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap bergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing.[4]  
Table ironi amanat pasal 33 UUD 1945. 
No
Amanat Konstitusi
Realita
1
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan
·         Kekuatan modal (kapitalism) dengan membonceng ideology Neolib atas nama kebebasan (pasar) menguasai hampir seluruh sendi perekonomian.
·         Konglomerasi keluarga menjadi kekuatan dominan yang menguasai perekonomian Negara.
2
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
Dengan dalih privatisasi Negara sama sekali tidak “menguasai” cabang produksi penting seperti industri telekomunikasi, baja, dll.
3
Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat
·         Industri pertambangan (Freeport, Newmount);
·         Perminyakan (Caltex, Chevron, Exoon Mobile, Petronas, dll)
·         industri produksi air mineral (Aqua Danone, Nestle Ades, dll), dikuasai asing.
·         pencurian ikan oleh nelayan asing, dll. 

Telah kami nyatakan di atas, bahwa salah satu hal yang bisa ditunjuk sebagai faktor yang turut memengaruhi kebijakan perekonomian neolib adalah globalisasi. Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang filosof yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai penganut faham individualis dan pembela kaum industri, Smith mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu menggenahi dirinya sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memeroleh keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri.
Ide pasar-bebas sebenarnya sudah ditolak sejak tahun 1926, namun menurut (Amin Rais: 2008, Sri Edi Swasono: 2010)[5] tidak mudah bagi sekelompok ekonom fundamentalis pasar melepaskan diri dari mitos tangan ajaib (the invisible-hand) dan pasar-bebas (free-market) senyawanya ini. Setiap kali dituntut berakhirnya pasar-bebas (the end of laissez-faire), setiap kali pula doktrin fundamentalisme pasar, sebagai cerminan paham individualisme self-interest dan liberalisme, muncul kembali. Intinya adalah bahwa pasar tidaklah self-regulating, tidak self-correcting, penuh market failures, terutama dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural. Peran pasar memang penting, tetapi harus dikontrol Negara, sistem pasar-bebas perlu diwaspadai, kegagalan pasar yang terlalu sering terjadi. Bagi Pasal 33 UUD1945 pasar haruslah ramah kepada rakyat dan kepentingan nasional, bukan sebaliknya negara yang harus tunduk dan ramah kepada pasar atau pun posisi rakyat direduksi dan tersubordinasi oleh kepentingan pasar.
Dalam konteks keindonesiaan, hal ini berjalin kelindan dengan issue diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom inilah yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. Mereka sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966. para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.[6]
Sikap pemerintah yang cenderung ramah terhadap pasar dan terkesan tunduk terhadap kepentingan pemodal juga bisa kita lacak misalnya pada perbedaan sikap pemerintah kita terhadap kekuatan korporasi asing dibandingkan Negara-negara lain. Banyak Negara (di Timur Tengah) yang menjadi kaya karena minyak setelah pemerintahnya lebih berani untuk meminta bagian yang lebih layak dalam production-sharing dan profit-sharing ketika berhadapan dengan korporasi minyak dan pertambangan. Sementara Indonesia Nampak selalu tunduk, merunduk, bahkan tiarap berhadapan dengan korporasi asing. Bahkan Amin Rais menunjuk sikap pemerintah Indonesia ini sebagai kejahatan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, pemerintah telah melakukan State-Corporate Crime, yakni kejahatan korporasi yang dibiarkan bahkan difasilitasi oleh Negara.[7]

Solusi Alternantif
Telah kita sepakati bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pijakan fundamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Meneguhkan apa yang tertulis dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, pasal 33 dengan sangat jelas memberi petunjuk bahwa pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan merupakan bagian utama dari cita-cita kemerdekaan.
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 
  3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi sistem perekonomian yang cenderung semakin bebas bahkan kebablasan adalah sistem ekonomi kerakyatan yang dipopulerkan oleh Profesor Mubyarto. Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, istilah Ekonomi Kerakyatan menjadi populer sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Mubyarto menyatakan, sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.[8]
Lebih lanjut, Mubyarto menyatakan bahwa sistem Ekonomi Kerakyatan mengacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa Indonesia yang tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan salah satu unsur intrinsiknya adalah Ekonomi Pancasila yang nilai-nilai dasar sebagai berikut:
  1. Ketuhanan, di mana “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”.
  2. Kemanusiaan, yaitu : “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”.
  3. Kepentingan Nasional (Nasionalisme Ekonomi), di mana “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”.
  4. Kepentingan Rakyat Banyak (Demokrasi ekonomi) : demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”.
  5. Keadilan Sosial, yaitu : “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).
Oleh sebab itu, pelaksanaan agenda ekonomi membutuhkan tuntunan dari sebuah ideologi ekonomi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat banyak, yang mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat dengan jalan kesejahteraan, bukan ideologi ekonomi yang menyerahkan urusan publik dan kesejahteraan rakyat pada budi baik investor asing dan segelintir pemilik modal. Pelaksanaan ekonomi kerakyatan membutuhkan komitmen yang kuat untuk melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada pihak luar dan membangun kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Pasal ini adalah merupakan pengejewantahan secara gamblang dari cita-cita nasional Indonesia.
Sektor industri pertambangan, energi minyak dan gas bumi sebagai salah satu sumber daya alam tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional pemanfaatan dan pengelolaannya diharapkan dapat dilakukan secara bijaksana dengan mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan penataan ruang, budaya masyarakat lokal.
Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa pemanfaatan berbagai sumber daya alam haruslah dilakukan dengan arif sehingga tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya dapat tercapai. Namun sayangnya menurut hemat kami pemihakan dan perlindungan pada sektor ekonomi rakyat masih sangat minim. Ini mengindikasikan bahwa selama ini juga ada pemihakan dan perlindungan, sayangnya pemihakan tersebut ditujukan bagi kalangan ekonomi besar (konglomerat) dengan dukungan fasilitas dari birokrasi. Begitu pula perlindungan bagi mereka berupa berbagai proteksi dan tax holiday. ekonomi kerakyatan membutuhkan political will pemerintah berupa pemihakan dan perlindungan bagi jaminan terselenggaranya aktivitas secara berkesinambungan di seputarnya.[]

*******

Daftar Bacaan:

Fahri Hamzah. 2007. Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat. Yayasan Faham Indonesia, Jakarta
George Junus Aditjondro. 2010. Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Century. Galang Press, Yogyakarta.
Jimly Asshidqy. 1998. Pidato pengukuhan Guru Besar FH UI, Undang-undang Dasar 1945, Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta,
Mohammad Amin Rais. 2008. Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia. PPSK Press, Yogyakarta.
Murdijati Gardjito, Ryan Salfarino. Makalah Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Berkedaulatan, Gerbang Kesejahteraan Bangsa. Disampaikan pada Seminar Nasional KAGAMA 17-18 Desember 2010. Jalan Menuju Kesejahteraan Persembahan KAGAMA untuk Indonesia.
Mubyarto, Pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia, [Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003]  Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada 9 Desember 2010. 
Revrisond Baswir. Makalah Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Diakses pada 16 Desember 2010.
Satjipto Rahardjo (Ufran,ed). 2010. Sosiologi Hukum; Esai-esai Terpilih. Genta Publishing, Yogyakarta.
Sofyan Efendi, dkk (ed). 2003. Curah Gagas dari Bulak Sumur; Meluruskan Jalan Reformasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.  
Sri Edi Swasono. 2010. Testimoni Permohonan Judicial Review UU No. 30 Tahun 2009 oleh DPP SP-PLN Tentang Ketenagalistrikan berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

*******


[1]M. Amin Rais. Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 260.
[2] Murdijati Gardjito, Ryan Salfarino. Makalah Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Berkedaulatan, Gerbang Kesejahteraan Bangsa. Disampaikan pada Seminar Nasional KAGAMA 17-18 Desember 2010. Jalan Menuju Kesejahteraan Persembahan KAGAMA untuk Indonesia
  

[3] Pidato pengukuhan Guru Besar FH UI, Undang-undang Dasar 1945, Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Jakarta, 1998, hal. 18.
[4] Lihat M. Amin Rais, Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 1-2.
[5] Testimoni Sri-Edi Swasono. 2010. Permohonan Judicial Review UU No. 30 Tahun 2009 oleh DPP SP-PLN Tentang Ketenagalistrikan berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
[6] Revrisond Baswir. Makalah Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Diakses pada 16 Desember 2010.
[7] M. Amin Rais, Agenda-agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, hal. 258.
[8] Mubyarto, Pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila di tengah praktek liberalisasi ekonomi di Indonesia, [Artikel - Th. I - No. 11 - Januari 2003]  Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada 9 Desember 2010.