Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Senin, 28 Februari 2011

NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA


Oleh

Sudjito bin Atmoredjo **)

Kenali Negara kami, kenali hukum kami !.
Hukum kami adalah jiwa kami, darah, daging, tulang-belulang kami,
mengakar kuat dalam bumi pertiwi,
tumbuh, berkembang, menjulang, menyapa ramah tetangga dan lingkungan kami,
Hukum kami adalah hidup dan kehidupan kami,
Hukum kami adalah jati diri Negeri kami,
Indonesia.
Pendahuluan
            Salah satu topik yang diangkat pada Kongres Pancasila kali ini “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”. Secara khusus diminta agar kajian difokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu:
  1. Negara Hukum (dari rechtstaat menuju rule of law).
  2. Peran Pancasila dalam pembentukan hukum termasuk tata urutan hukum.
  3. Posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
      Hemat kami, sesungguhnya, teramat banyak aspek-aspek yang harus dikaji sehubungan dengan topik itu. Terdapat banyak permasalahan tersimpan di dalamnya. Keseluruhannya merupakan pekerjaan rumah yang luas, besar dan berat bagi bangsa ini. Daripadanya perlu ada kesadaran bersama untuk secara terus-menerus dan berkesinambungan menggarap pekerjaan rumah ini. Di sini perlu ada kesamaan komitmen, visi dan misi, yaitu menjadikan Negara hukum Indonesia sebagai “rumah nyaman yang membahagiakan bagi segenap komponen bangsa.“[1]
      Permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata dan masih terus mengganggu kenyamanan kita bernegara hukum, antara lain: Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan mengenai bentuk negara yaitu republik. Di samping itu secara eksplisit diumumkan pula bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Jadi secara formal Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Akan tetapi, bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku hukum agar benar-benar menjadi negara hukum substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum; sebagian ingin berkiblat ke Barat, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli. Kongres ini merupakan bagian dari upaya menjadikan negara hukum substansial itu. Dapatkah di antara perbedaan pemikiran tersebut diperoleh titik temu ?
      Kedua, secara empiris kita belum memiliki banyak pengalaman bernegara hukum. Memang, sejak dijajah Belanda maupun Jepang, kita sudah hidup bernegara hukum. Akan tetapi posisi kita pada waktu itu bukan sebagai subjek pengelola, melainkan sebagai objek penderita. Ketiadaan pengalaman bernegara hukum itu terbukti berpengaruh besar pada kesiapan bangsa ini ketika tiba-tiba harus mandiri dalam mengelola negara hukum. Banyak sekali kesulitan, kendala, hambatan yang belum mampu diselesaikan dengan baik sehingga menyisakan kepedihan, ketidakadilan dan ketidaknyamanan kehidupan. Apakah kepedihan-kepedihan itu merupakan keniscayaan dari sebuah proses  menuju kematangan bernegara hukum?
      Ketiga, rechtstaat sebenarnya merupakan konsep negara modern yang khas Eropa. Konsep modern ini dibawa masuk ke Indonesia oleh Belanda melalui penjajahan. Belanda sendiri mengalami kesulitan untuk memberlakukannya secara konsisten. Tindakan maksimal yang dapat dilakukan sekedar pencangkokan (transplantasi) hukum modern ke dalam sistem hukum adat yang telah berlaku mapan bagi golongan pribumi. Hukum modern tersebut diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur Asing, sementara itu bagi golongan pribumi tetap berlaku hukum adatnya masing-masing. Sebenarnya sekarang kita masih berada dalam masa pencarian, konsep negara hukum seperti apa yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep Negara hukum Indonesia itu masih belum jelas, karena masih berada dalam proses pencarian. Kiranya wajar saja apabila kondisi sistem hukum Indonesia saat ini masih tergolong buruk, bahkan lebih tepat kita belum memiliki sistem hukum. Apakah kita ingin mengoper-alih konsep rechtstaat, memodifikasi atau sekedar mempelajari sebagai perbandingan untuk mendapatkan konsep Negara hukum Indonesia ? 
      Keempat, secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya. Apabila Negara hukum Pancasila nanti telah terbentuk, tidaklah menjadi persoalan ketika ternyata Negara hukum tersebut berbeda dengan rechtstaat di Eropa atau Amerika. Hal terpenting adalah konsep Negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi sarana dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Bagaimana supaya posisi dan peran Pancasila dalam bernegara hukum yang kini meredup dapat disegarkan kembali ?

Negara Hukum bukan Rechtstaat
      Terus terang, bagi kami terasa ada hal yang kontradiktif antara topik dan 3 (tiga) pokok kajian di atas. Pada satu sisi diinginkan agar ada kajian tentang Negara hukum yang betu-betul khas Indonesia, yaitu Negara hukum yang didasarkan pada Pancasila. Kalau demikian halnya, maka sedari awal diperlukan adanya kesediaan untuk membebaskan diri dari belenggu pemikiran-pemikiran asing, khususnya pemikiran Barat mengenai rechtstaat. Kalaupun pemikiran asing dihadirkan sekedar untuk perbandingan agar kajian menjadi lebih berkualitas dan meyakinkan. Namun pada sisi lain, pokok-pokok kajian yang diminta dicari solusinya justru telah menunjukkan keberadaan Negara hukum tersebut pada pemikiran Barat. Kata-kata rechtstaat dan rule of law, jelas berasal dari Eropa. Pengertiannya tidak mungkin diterima sebagaimana aslinya, kemudian dioper-alihkan dan digunakan di Indonesia.
            Negara hukum (rechtstaat), jelas bukan sembarang nama. Nama adalah doa, harapan dan cita-cita. Nama yang terkesan Indo-Barat ini telah melekat erat pada UUD 1945 (sebelum amandemen keempat). Ketika Negara ini diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri Negara (the founding fathers) pasti telah memperhitungkan dengan cermat, matang dan hati-hati segala konsekuensi yang harus ditanggung oleh segenap komponen bangsa pada generasi-generasi sesudahnya. Secara eksplisit dipesankan bahwa penamaan itu dimaksudkan agar sistim pemerintahan Negara diselenggarakan berdasar atas hukum, dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat).[2] Berkenaan dengan pesan demikian maka para generasi penerus wajib memikirkan mengenai konsep sistem hukum nasional yang khas Indonesia, selaras dengan sebutan sebagai Negara hukum (rechtstaat) tersebut. Pada hemat kami, lebih dari sekedar pesan tekstual tersebut, apabila UUD 1945 tersebut dibaca secara mendalam dan menyeluruh, sejak jiwa dan semangat sampai dengan perumusan pasal demi pasal, akan dapat ditangkap adanya pesan yang lebih bermakna, bahwa hakikat Negara hukum adalah bangunan (organisasi) seluruh rakyat Indonesia, sebagai tempat berinterkasi, musyawarah, saling memberi dan mencintai agar dicapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi. Secara bijak, the founding fathers menyampaikan pesan bermakna tersebut dalam bentuk rumusan tujuan Negara dan Dasar Negara, yaitu:[3]
1.      melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.      memajukan kesejahteraan umum;
3.      mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4.      ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan Negara tersebut disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
            Mencermati pesan-pesan di atas, kiranya dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep Negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan Negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan Negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.
            Dengan demikian, secara skematis posisi dan peran Pancasila terhadap hukum nasional dan tujuan negara adalah sebagai berikut :

PANCASILA

 
HUKUM NASIONAL

 
 





TUJUAN NEGARA

 
           
            Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali muncul di Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemunculannya bukan secara tiba-tiba melalui sebuah rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan sistem sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum abad 17 diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang berlangsung secara susul-menyusul dari sistem sosial satu ke sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme, Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Masing-masing keambrukan sistem sosial tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern. Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk bisa menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan pemegalan kepala raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda, harus memeras negeri jajahan (Indonesia) dengan cara mengintroduksi sistem tanam paksa (kultuur stelsel, supaya bisa tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian, Belanda bisa berjaya kembali. Amerika Serikat, harus mengalami perang saudara sebelum berjaya sebagai negara besar dan kuat.[4]
            Kelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak melalui proses pergulatan sistem sosial seperti yang terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena “dipaksa” melalu pencangkokan (transplantasi) hukum oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu proses musyawarah ataupun menunggu keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung ke negara hukum. Substansi Negara hukum pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama  dan dalam waktu bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik, religius, sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada waktu itu.
            Terkait dengan perbedaan-perbedan yang cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat, maka kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan sistem pemerintahan Negara pun menjadi berbeda pula. Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara harus didasarkan pada rule of law. Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada supremasi hukum. Rechtstaat harus konstitusional. Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara, tidak boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara. Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar selera seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan pemerintahan Negara sehingga mewnjurus menjadi negara kekuasaan (machtstaat).
            Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep aslinya. Rule of law yang khas bagi rechtstaat, tidak mudah berlaku di Indonesia. Kehidupan bernegara hukum tidak serta merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah dijalankan secara konsisten. Hukum Negara masih perlu terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan ideologi asing. Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara harus berinteraksi dengan jenis hukum-hukum lain. Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan kejadian. Mungkin hukum negara mendominasi hukum adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum adat justru ditempatkan lebih utama dari negara dan hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru hukum negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum internasional. Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi ada pula pelaksanaan hukum yang sangat personal dan kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan aturan main dalam kehidupan bernegara hukum yang pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu. Keberlakuan aturan main senantiasa tunduk kepada berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor politik, budaya, ekonomi, keamanan dan sebagainya. Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum tersebut, supremasi hukum negara bisa hilang dan digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain. Proses bernegara hukum, sepintas akan tampak seolah menjadi kacau (chaos). Namun demikian, apabila proses bernegara hukum tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak Pancasila, hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan tampak bahwa pluralisme hukum mampu menghadirkan ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar. Hal demikian terjadi karena menjalankan negara hukum bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum negara, melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi dan melengkapi, antara hukum negara, hukum adat maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Di dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) terdapat kata-kata yang ambigu, yaitu Negara hukum (rechtstaat). Kata-kata itu menimbulkan kesimpangsiuran pengertian. Pada satu pihak ada yang mengartikan bahwa kita ingin mencontoh rechtstaat yang telah ada di Eropa dan Amerika, sementara itu pihak lain mengartikan bahwa kita tidak boleh terjebak pada persoalan bahasa, melainkan harus menemukan makna yang cocok untuk Indonesia. Upaya-upaya mengatasi kesimpangsiuran pengertian Negara hukum ini sekarang masih terus kita lakukan dan belum ada titik temu.  Para reformis telah berusaha mengurangi kesimpangsiuran pengertian itu dengan cara “meruwat” kata rechtstaat dari UUD 1945.[5] Langkah ini bagus. Akan tetapi sayang tidak diikuti secara konsisten dengan langkah-langkah pembersihan unsur-unsur asing yang mengganggu karakteristik sistem hukum Indonesia yang komunalistik-religius. Misalnya, kita masih menggunakan kata rule of law maupun staatsfundamentalnorm. Pada beberapa Undang-undang maupun pembelajaran hukum masih didominasi dengan kata-kata asing, dan sekaligus ada upaya membumikan pengertian asing tersebut ke dalam sistem hukum Indonesia. Sekali lagi, kita tidak anti hukum asing. Tidak. Kalau memang hukum asing tersebut bagus dan cocok untuk Indonesia, sudah tentu dapat dan perlu diadopsi. Misalnya, kita tidak mungkin selamanya hidup dalam suasana hukum adat yang tidak tertulis. Anak lahir perlu akta kelahiran. Bukti pemilikan tanah perlu sertifikat. Perkawinan perlu akta nikah, dan sebagainya. Kita butuh kepastian hukum tertulis, ketika daya ingat dan rasa saling percaya di antara sesama manusia melemah. Indonesia perlu mencontoh positivisasi hukum seperti itu agar kehidupan menjadi lebih nyaman.
Peruwatan nama rechtstaat sampai dengan saat ini belum tampak pengaruh positifnya pada kondisi sistem hukum kita. Dengan kata lain, membangun Negara hukum tidak cukup dengan meruwat nama, melainkan perlu diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku. Membangun Negara hukum bukan sekedar menancapkan sebuah papa nama dan sim-salabim negara hukum pun selesai dibangun. Juga tidak sama dengan bercocok undang-undang, bertanam pengadilan. Membangun Negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun suatu peradaban baru. [6]
            Rechtstaat dalam keotentikannya senantiasa mempersyaratkan adanya perilaku warga negara dan penyelenggara negara yang rasional, impersonal dan sekuler. Hukum negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi semua pihak, tanpa pandang bulu dan di atas semua jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa satu hukum negara (Undang-undang misalnya) berlaku secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan hukum berpegang pada prinsip rule and logic. Azas legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat dikenai sanksi hukum kecuali sudah ada aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality before the law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan telah dipandang adil apabila hukum negara telah dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan hukum pada negara modern  (rechtstaat).
            Kehidupan bangsa Indonesia tidak mungkin dipaksa masuk secara utuh kedalam sistem sosial yang serba rasional, impersonal dan sekuler tersebut. Kita telah akrab dengan sistem sosial bersifat kolektif, personal, dan religius. Tidak ada kata mutlak atau absolut dalam kehidupan bersama, kecuali keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara bukanlah segala-galanya dan berada di atas manusia, melainkan sebagai bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga. Oleh karenanya, sangat mungkin hukum negara dikesampingkan apabila dirasa mengganggu keselarasan kehidupan bersama. Bali dengan filosofi Tri Hita Karana, dapat ditampilkan sebagai contoh komunitas yang konsisten menjaga keseimbangan dalam kosmologi yang utuh yaitu keseimbangan antara kehidupan mengabdi kepada Sang Yang Widhi Wasa (Parahyangan), kepada sesama manusia (Pawongan) dan kebersatuan dengan lingkungan (Palemahan). Masyarakat Sumatera Barat, dapat ditampilkan pula sebagai contoh untuk mempresentasikan adanya konsistensi kehidupan yang berkiblat kepada hukum agama (Islam) sebagaimana tersirat dalam filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Secara jelas, tampak betapa hukum agama ditempatkan dalam posisi yang tinggi dan menjadi sumber pembentukan hukum adat. Tanpa harus menyebut satu-persatu kiranya tidak terlalu sulit untuk membuktikan bahwa hal-hal serupa terdapat pada seluruh masyarakat adat di Indonesia. Inilah bukti konkrit bahwa semboyan “bhinneka tunggal ika” dalam lambang Negara masih relevan karena mampu mengakomodasi pluralisme hukum.

Pancasila dan Hukum Nasional     
            Kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu agar terarah kepada tujuan negara yang telah kita sepakati perlu dilakukan secara sengaja dan terencana. Tidaklah mungkin selamanya manusia Indonesia hidup dalam alam tradisional dan kedaerahan. Sejak adanya Soempah Pemoeda 1928, kita telah berketad berbangsa satu bangsa Indonesia. Dalam semangat yang sama, langkah itu perlu diikuti dengan tekad menyusun hukum nasional.
            Kita bersatu bukan untuk meleburkan diri dari jati diri masing-masing. Kemajemukan hukum merupakan bagian dari kemajemukan budaya. Kemajemukan hukum merupakan aset nasional yang berharga dan perlu dijaga. Dari kemajemukan kita dapat saling belajar dan saling memberi sehingga kehidupan menjadi semakin dinamis dan maju. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan atas kemajemukan hukum perlu terus dijaga dalam wadah dan semboyan bhinneka tunggal ika.
            Indonesia sebagai negara baru supaya dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain perlu membuka diri dan berinterksi dalam percaturan dunia global. Hubungan-hubungan internasional tersebut mensyaratkan adanya hukum nasional yang mampu mengakomodasi hukum internasional. Hukum Internasional harus diterima sebagai bagian dari bahan penyusunan hukum nasional, tanpa harus mengalahkan sifat kenasionalan kita. Artinya, semangat nasionalisme perlu ditempatkan di atas penerimaan atau penyesuaian terhadap hukum internasional. Lebih dari itu perlu dijaga agar nasionalisme itu tidak luntur karena desakan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional harus disusun dalam semangat menjaga kedaulatan hukum atas negeri sendiri.
            Tanpa mengurangi arti penting untuk membicarakan bidang-bidang hukum lain, perkenankan kami menampilkan hukum agraria nasional sebagai pintu masuk membicarakan hukum nasional. Seperti diketahui bahwa sejak awal kemerdekaan upaya mewujudkan sistem hukum nasional sudah mulai dikerjakan, antara lain dengan melakukan unifikasi hukum di bidang agraria. Hukum agraria nasional sengaja digarap paling awal mengingat dari masalah agraria inilah bangsa Indonesia terlibat dalam berbagai pergulatan sosial, politik maupun hukum. Agraria dan sumberdaya yang ada di dalamnya selalu menjadi objek perebutan penguasaan dan pemilikan, baik antar sesama warga, kelompok, masyarakat adat, kerajaan, dan bahkan negara. Penjajahan atas Indonesia oleh negara asingpun dalam rangka penguasaan agraria tersebut. Oleh sebab itu, sungguh bijak ketika kita merdeka maka perhatian utama diprioritaskan untuk mengatur masalah agraria. Pada satu sisi dengan keberadaan hukum agraria nasional diharapkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia segera dapat ditingkatkan, sedangkan pada sisi lain keberadaan hukum agraria nasional merupakan sarana untuk mengantisipasi munculnya berbagai konflik pemilikan dan penguasaannya.
            Hukum agraria nasional sengaja ditampilkan di sini sebagai contoh hukum yang mampu merangkum semua jenis hukum yang ada di Indonesia dan sebagai hukum yang visioner.[7] Pokok-pokok pengaturan hukum agraria nasional terdapat di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tidak dapat disangkal, bahwa UUPA merupakan produk perundang-undangan yang mampu bertahan cukup lama, ditengah-tengah pergolakan dan perubahan sosial, politik dan rezim kekuasaan di negeri ini. Betapapun ada sekian banyak desakan untuk merubah bahkan mengganti UUPA dengan dalih reformasi agraria, kenyataan UUPA sampai dengan hari ini masih tegar, utuh dan sah berlaku. Hal demikian rasanya tidak mungkin terjadi, kecuali UUPA mempunyai akar yang kuat dan mendalam pada kehidupan bangsa Indonesia. Akar yang kuat dan mendalam tersebut antara lain berupa nilai-nilai luhur yang daripadanya dibangun hukum agraria nasonal dengan objek-garapan meliputi : bumi, air, ruang-angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazim disebut agraria (bumi Indonesia).
Apabila dicermati akan tampak dengan jelas bahwa UUPA secara keseluruhan merupakan konkritisasi nilai-nilai Pancasila. Kandungan nilai-nilai Pancasila pada keseluruhan pasal-pasal di dalamnya mencerminkan adanya hubungan tidak terpisahkan antara Tuhan-manusia-agraria (bumi Indonesia). Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Seluruh bumi, air dan ruang-angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang-angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Di dalam kata-kata “karunia Tuhan Yang Maha Esa” terdapat kandungan nilai religius yang begitu sakral dan sekaligus mencerminkan karakter teistik, yaitu:
1.      Pengakuan adanya kekuasaan di luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia, suatu nikmat yang luar-biasa besarnya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa;
3.      Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan bangsa Indonesia;
4.      Adanya hubungan antara Tuhan-manusia-bumi Indonesia itu membawa konsekuensi pada pertanggungjawaban dalam pengaturan maupun pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia, melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam UUPA dikenal dan diakui keberadaan hak bangsa, hak ulayat, hak perorangan, hak badan hukum, namun dalam keseluruhannya dibingkai oleh ketentuan Pasal 6 yang berbunyi “Semua hak atas tanah mempunyai funksi sosial”. Penempatan bangsa Indonesia sebagai penerima karunia Tuhan Yang Maha Esa atas bumi Indonesia mengandung makna bahwa bumi Indonesia merupakan kepunyaan bersama seluruh komponen bangsa, sehingga setiap warga negara dihargai sebagai subjek yang mempunyai hak dan tanggungjawab sama dalam pemeliharaan, penggunaan atau peruntukkan bumi Indonesia itu. Secara jelas di dalam Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan ini jelas sangat berpadanan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga ada pengakuan dan penghargaan terhadap subjek lain sebagaimana dirinya sendiri. Lebih lanjut pada Pasal 11 ayat (2) diatur bahwa: “Perbedaaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah”. Pasal ini mengandung nilai moral religius dan moral sosial yang begitu tinggi, yaitu kepeduliannya terhadap realitas plural dalam kehidupan manusia. Kita menyadari, betapapun hak dan kesempatan sama telah diberikan UUPA terhadap setiap warga negara dalam hubungannya dengan bumi Indonesia, namun hasilnya belum tentu sama. Munculnya golongan ekonomis kuat dan golongan ekonomis lemah, merupakan keniscayaan. Kata-kata:“. . . menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah”, merupakan norma hukum yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Kaya-miskin, kuat-lemah adalah realitas kehidupan yang tidak perlu dipahami secara terkotak-kotak dan berhadap-hadapan, melainkan sebagai realitas utuh yang saling memberi dan melengkapi. Martabat manusia tidak diukur dengan status sosial yang ditandai oleh besarnya penguasaan atas bagian dari bumi Indonesia, melainkan dari kepedulian terhadap golongan rakyat yang miskin dan lemah.
Tanpa harus mengurai pasal demi pasal, kiranya telah diperoleh gambaran bahwa nila-nilai Pancasila telah mengakar sedemikian kuat dalam UUPA, dan dengan demikian potensial untuk dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan, mengantisipasi dan memberi solusi segala permasalahan hukum agraria di Indonesia. Ini bukan berarti UUPA telah sempurna dan anti perubahan. Tidak demikian. Seiring dengan perkembangan pergaulan global, maka ke depan yang diperlukan adanya hukum agraria internasional yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila agar terdapat hubungan sinergis antara masyarakat adat, negara dan lembaga-lembaga internasional. UUPA secara normatif sangat menghargai keberadan hukum adat. Pasal 5 menyebutkan: ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, . . .”  Dengan pola pikir holistik, ketentuan dalam Pasal tersebut harus dimaknai bahwa hukum adat merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional dan perlu dikokohkan agar mampu berinteraksi dengan hukum nasional maupun internasional. Dalam keutuhannya, hukum nasional menjadi rusak ketika hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan dari hukum nasional lemah. Oleh karena itu, kewajiban bagi segenap komponen bangsa untuk mempertahankan bahkan memperkuat keberadaan hukum adat. Demikian pula halnya, keutuhan hukum nasional menjadi rusak ketika dihegemoni oleh hukum internasional, oleh karena itu segala unsur dan ideologi asing perlu disaring, dan alatnya adalah Pancasila.
Sungguh sangat berseberangan dengan nilai-nilai moral dan semboyan bhinnika tunggal ika, setiap tindakan untuk mengeluarkan posisi dan keberadaan hukum adat dari hukum nasional, misal dengan menyatakan “sudah lemah, bertentangan dengan kepentingan nasional, bertentangan dengan perundang-undangan”, dan sebagainya. Kata-kata seperti itu tidak boleh muncul, baik dalam bentuk teks perundang-undangan maupun pemaknaan. Demikian halnya, sungguh sangat bertentangan dengan semangat nasionalisme ketika hukum nasional didesain sedemikian rupa untuk penyesuaian dengan hukum internasional sekaligus sebagai pembuka pintu masuknya bangsa dan lembaga asing berinvestasi (menjajah) di Indonesia.
            Bercermin pada hukum agraria nasional tersebut, maka struktur hukum nasional secara umum dapat digambarkan dalam skema berikut:
HUKUM NASIONAL

 
 

PANCASILA

 
 


                       
 


UUD
 
PP

 
 









Perpres

 
           

Perda

 
 



            Dari skema di atas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
  1. Pancasila adalah roh/jiwa hukum nasional. Pancasila sebagai sistem nilai, keberadaannya abstrak, tak terlihat dengan mata kepala, tetapi keberadaan dan dan perannya dapat ditangkap dengan mata hati. Apabila Pancasila terlepas dari hukum nasional, maka hukum nasional akan mati. Kalaupun hukum nasional ada, ia sekedar merupakan zoombi (mayat hidup) yang menakutkan, merusak, dan mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan manusia.
      Di sini tidak perlu ada kata-kata staatsfundamentalnorm sebagaimana terdapat pada stufenbau theory dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, maupun penyebutan Pokok-pokok kaidah negara yang fundamental dari Notonagoro.
  1. Pancasila sebagai sistem nilai telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tertanam dalam tradisi, sikap, perilaku, adat-istiadat dan budaya bangsa. Pancasila tergolong nilai kerohanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai materiil, nilai vital, nilai kebenaran/kenyataan, nilai aesthetis, nilai ethis/moral maupun nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-sila Pancasila yang sistematis-hierarkis, yang dimulai dari sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai dengan sila ke lima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.[8]
  2. Kebenaran nilai-nilai Pancasila bersifat objektif-universal. Sifatnya yang demikian itu menjadikan Pancasila diterima oleh bangsa sendiri dan mengejawantah dalam bentuk hukum adat, sedangkan pada tingkat global mengejawantah dalam bentuk hukum internasional. Oleh karenanya, hukum adat dan hukum internasional terbuka bertemu dan menyatu dalam hukum nasional. Pertemuan itu perlu difasilitasi dan diatur oleh Negara dalam bentuk hukum negara, sehingga keberadaannya tidak mengganggu nasionalisme Indonesia.
  3. Hukum adat, merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Sifatnya: kedaerahan, tak tertulis, komunalistik-religius (gotong-royong). Sifat kedaerahan dan tak tertulis, dapat dipertahankan sebagai sarana mengatur dan menyelesaikan segala persoalan yang bersifat kedaerahan. Pengakuan atas sifat kedaerahan dan tak tertulis ini menjadikan beban Negara menjadi ringan. Di sinilah semboyan kebhinnekaan perlu dijaga. Sementara itu, karakter komunalistik-religius (gotong-royong) perlu dipertahankan pada tataran nasional, sehingga interaksi antar sesama masyarakat hukum adat terfasilitasi oleh hukum negara dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI sekaligus mewujudkan tujuan negara yang berdimensi nasional, yaitu : (a) melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; dan (c) mencerdaskan kehidupan bangsa.
      Secara singkat, karakter gotong-royong sebagai karakter asli hukum adat perlu diangkat dan ditingkatkan menjadi karakter hukum nasional melalui unifikasi hukum, sehingga hukum nasional terjauhkan dari sifat individual, liberal dan sekuler.
5.      Hukum internasional, merupakan entitas hukum yang tidak mungkin kita tolak kehadirannya. Sebagai bagian dari kehidupan global, bangsa Indonesia perlu berinterkasi dengan negara-negara lain. Banyak hal kita bisa peroleh dari hubungan internasional. Satu di antaranya adalah agar eksistensi Indonesia diakui dan diterima dalam pergaulan sesama negara bermartabat. Pengakuan demikian itu penting, selain dalam rangka mempermudah perwujudan tujuan negara yang berdimensi nasional (lihat poin 4), juga untuk mewujudkan tujuan negara yang berdimensi internasional, yaitu: ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh sebab itu, hukum internasional secara substansial maupun formal harus dipertimbangkan baik-baik untuk diterima dan dimasukkan sebagai bagian dari hukum nasional. Penerimaan hukum internasional tersebut tidak boleh sekali-kali untuk menghegemoni hukum nasional, melainkan sebagai upaya meningkatkan budaya dan peradaban bangsa melalui hukum nasional.
6.      Hukum negara, dengan demikian bukan hukum nasional melainkan merupakan bagian dari hukum nasional, yaitu hukum yang dibuat oleh Negara (sebagai organisasi rakyat Indonesia), sebagai salah satu sarana mewujudkan Negara hukum Indonesia. Secara formal, hukum negara bersifat positif (tertulis), secara substansial bersandar pada hukum Tuhan Yang Maha Esa, berazaskan hukum adat, dan memperkaya diri dengan hukum internasional.
7.      Hukum negara secara hierarkis meliputi, hukum tertinggi berupa Undang-Undang Dasar (d.h.i UUD 1945), dan seterusnya ke bawah terdapat Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP termasuk Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda, baik Tingkat I maupun II). Hierarkis ini membawa konsekuensi bahwa hukum tertinggi (UUD) harus meliputi segala urusan negara, berlaku universal dan untuk tujuan jangka panjang (tak terbatas). Oleh sebab itu rumusan ketentuan dalam UUD sebatas rumusan azas-azas, dan bukan rumusan detail-operasional. Operasionalisasi substansi hukum maupun aturan main, terletak pada UU, PP, Perpres, dan Perda. Semakin ke bawah, harus semakin detail dan operasional, sehingga memungkinkan hukum dijalankan sesuai dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi bagi masing-masing daerah maupun subjek hukum terkait.

Penutup
            Pada hemat kami bahwa bernegara hukum dalam perspektif Pancasila mensyaratkan kesediaan segenap komponen bangsa untuk memupuk budaya musyawarah. Kehidupan yang nyaman dan membahagiakan, dapat diibaratkan sebagai kehidupan yang sehat. Madu dapat menjadi sarana terbaik untuk menjadikan kehidupan yang sehat itu. Selain rasanya manis, madu juga mengandung obat.  Musyawarah secara maknawi berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”,[9] selanjutnya madu tersebut kita minum bersama-sama.
            Lintasan sejarah kehidupan manusia telah memberikan bukti-bukti empiris bahwa melalui musyawarah, suatu bangsa dapat meraih apapun yang dipandang terbaik bagi bangsanya. Demikian halnya dengan bernegara hukum dalam perspektif Pancasila. Sila keempat:“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, secara eksplisit telah mengamatkan kepada bangsa ini agar suka bermusyawarah. Oleh sebab itu lembaga permusyawaratan perlu dihidupkan pada semua jenjang/strata sosial dan Negara, dan masing-masing lembaga diberi wewenang untuk merumuskan hukum yang terbaik bagi komunitasnya.
            Sudah tentu dalam bermusyawarah harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan etika yang tercakup dalam nilai-nilai Pancasila, yaitu:
  1. Proporsionalitas. Artinya, subjek maupun objek yang dimusyawarahkan harus berada dalam proporsinya masing-masing, sehingga tidak terjadi pelanggaran yuridiksi.
  2. Tanggungjawab. Artinya, semua pihak bertanggungjawab untuk ikut melaksanakan semua hasil yang telah disepakati, dengan mengedepankan kepentingan nasional.
  3. Ketawakalan. Artinya, setelah semua pihak terlibat bermusyawarah dengan maksimal maka terhadap hasilnya disandarkan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, disertai kesediaan menerima segala risiko sekaligus berlindung agar dihindarkan dari munculnya risiko di luar perhitungan akal manusia.
Wallahu’alam bishowab


Daftar Pustaka
Darmodihardjo, Dardji., Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Penerbit: Usaha Nasional,  Surabaya, 1979
Rahardjo, Satjipto., “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai, Kompas, Agustus 2003
Shihab, Quraish Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Penerbit: Mizan, Bandung, 1996
Sudjito, PERKEMBANGAN ILMU HUKUM: DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum pada FH UGM, tgl.28 Maret 2007.


                *) Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM, Yogyakarta.
                **) Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
                [1] Baca : Pemikiran ini dirujuk dari Satjipto Rahardjo, dalam  “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai, Kompas, Agustus 2003. Pada hemat kami, pemikiran begawan hukum Indonesia itu masih relevan diangkat kembali untuk diaktualkan dalam konsep Negara hukum Indonesia.
                [2] Baca : UUD 1945 (sebelum diamandemen), Penjelasan Umum, II. SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, angka 1.
                [3] Baca : Ibid, bagian Pembukaan (Preambule)
                [4] Kisah cerita singkat ini dapat dibaca pada Satjipto Rahardjo, op cit.
                [5] Baca: UUD 1945 pasca amandemen ke empat.
                [6]  Satjipto Rahardjo, op cit.
                [7] Sudjito, PERKEMBANGAN ILMU HUKUM : DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum pada FH UGM, tgl.28 Maret 2007
[8] Dardji Darmodihardjo, Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Penerbit Usaha Nasional,  Surabaya, 1979, hlm. 52.
                [9] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir maudlu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Penerbit: Mizan, Bandung, 1996, hlm.469.