Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Minggu, 21 November 2010

Manusia, Alienasi dan Tasawuf

Muqaddimah
Para pakar psikologi sepakat bahwa problematika alienasi (keterasingan manusia dari dirinya dan lingkungannya) merupakan problema yang teramat serius bagi masyarakat modern. Alienasi adalah salah satu dari jenis penyakit kejiwaan dimana seseorang tidak lagi merasa dirinya sebagai miliknya sendiri melainkan telah terenggut oleh suatu mekanisme diluar dirinya yang tak mampu dikendalikannya lagi. Orang yang dilanda alienasi akan merasakan suatu kebingungan, keterasingan dan kesepian dikarenakan apa yang dilakukannya di luar atas kesadaran dan pikiran bebasnya, melainkan karena kekuatan luar yang tidak diketahui dan dikehendaki menurut perasaan akal sehatnya.
Ini semua diakibatkan manusia sudah terlalu jauh meninggalkan agama sebagai tuntunan hidupnya dan larut dalam pusaran kehidupan dunia. Kalaupun mereka masih mengaku beragama, agama hanyalah menjadi symbol dan mereka hanya memaknainya sebatas menjalankan ritual hampa tanpa penghayatan makna.
Mengutamakan formalitas agama dapat mengakibatkan jiwa amaliah agama itu tidak dapat dirasakan, yang terasa hanyalah kesibukan fisik yang kering dan kurang bermakna. Penghayatan ibadah menghendaki segala gerak, ucapan, dan perbuatan difocuskan kepada Allah semata. Menghayati ibadah membutuhkan kesungguhan, pemahaman, dan latihan yang berkesinambungan. Oleh karena itu ibadah menghendaki penghayatan spiritual.
Kekosongan aspek spiritual inilah yang mendorong manusia modern atau mereka yang telah masuk dalam suatu tatanan masyarakat yang sangat kompleks di era yang disebut modernisasi, industrialisasi, globalisasi, komputerisasi, informasi dan lain sebagainya, untuk melakukan pencarian nilai-nilai spiritualis untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan.
Dari sini, ada suatu upaya dari manusia modern untuk kembali menggali nilai-nilai spiritual dengan pendekatan yang disebut tasawuf, hal ini dipercaya bisa memberikan satu alternative–solutif bagi problema alienasi dan dehumaninsai yang menimpa masyarakat modern.

Tasawuf
Secara etimologi tasawuf  berasal dari beberapa perkataan yang sering dirujuk oleh para ahli. Di antaranya dikatakan bahwa tasawuf diambil dari bahasa arab safa, yang artinya suci – murni, suffah yang artinya pojok atau emperan masjid dan merujuk pada istilah ahlus suffah pada zaman Rasulullah SAW, dan dari kata suf  yang berarti bulu domba, karena merujuk pada kebiasaan para rohaniawan yang biasa memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambing kesederhanaan dan menjauhi kemewahan. Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa tasawuf semakna artinya dengan kata dari bahasa yunani sofia, yang berarti kebijaksanaan. Adapun pengertian terminology  tasawuf, banyak sekali ta’rif (definisi) nya, antara lain:
a)      Tasawuf  ialah sikap seseorang yang merindukan kekasihnya dengan membaringkan diri di pintu rumahnya agar dapat menemuinya.
b)      Tasawuf ialah mementingkan yang hakekat dan bersabar menahan diri dari sifat tamak terhadap apa – apa yang dimiliki manusia.
c)      Tasawuf ialah bahwa engkau sanggup bersama Allah tanpa suatu penghubung.
d)     Tasawuf adalah bahwa engkau tidak merasa memiliki dan di miliki sesuatu.
Tasawuf ditegakkan atas dasar 3 (tiga) prinsip, yaitu:
  1. Prinsip hidup faqir dan selalu memerlukan rahmat Allah.
  2. Prinsip mewujudkan pengorbanan yang sebesar - besarnya demi pencapaian tujuan.
  3. Prinsip hidup pasrah, tanpa membuat pilihan sendiri.
Karena manusia secara utuh terdiri atas jasmani dan rohani, maka keduanya perlu konsumsi. Salah satu bentuk konsumsi adalah ibadah, yang merupakan konsumsi untuk rohani. Ibadah, kalau hanya menekankan aspek formalitasnya saja, maka ibadah itu terasa “kering”, misalnya hanya menekankan syarat, rukun, sah, dan batal tanpa mementingkan penghayatan di dalamnya, maka bukan mustahil amaliah agama itu tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan tidak dapat menumbuhkan ajaran moral.
Mengutamakan formalitas agama dapat mengakibatkan jiwa amaliah agama itu tidak dapat dirasakan, yang terasahanyalah kesibukan fisik yang kering dan kurang bermakna. Oleh karena itu ibadah menghendaki penghayatan spiritual. Penghayatan ibadah menghendaki segala gerak, ucapan, dan perbuatan difocuskan kepada Allah semata. Menghayati ibadah membutuhkan kesungguhan, pemahaman, dan latihan yang berkesinambungan.
Banyak orang yang merasa tidak puas dengan menjalankan ibadah formal dalam menjalani hubungan dengan Tuhan (habluminallah), karena itu mereka menyempurnakan ibadah itu dengan tasawuf yang lebih dapat mendekatkandiri kepada Tuhan dengan sedekat-dekatnya. Sesuai dengan tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan lansung dengan Allah secara sadar sehingga seseorang merasa benar-benar berada di hadirat Allah.
Pada mulanya tasawuf itu mengambil bentuk zuhud dalam arti sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya tasawuf itu digunakan untuyk memperhalus budi pekerti dan sopan santun, ketika manusia mengadakan hubungan dengan Tuhan (habluminallah),dan hubungan dengan manusia (habluminannas).   Perkembangan lebih lanjut, menunjukkan bahwa tasawuf bukan hanya untuk memperhalus budi pekerti yang bersifat akhlaq saja, tapi juga merupakan pandangan hidup yang di sistematisir atas dasar pemikiran yang mendalam dan bersifat falsafah.

Perkembangan Tasawuf  dalam Islam
Pada masa Rasulullah masih hidup, tasawuf  (kata/ istilah itu sendiri belum dikenal pada masa itu) masih berbentuk zuhud, yakni suatu system hidup yang tidak menyukai kemewahan dunia. Pada masa itu tasawuf belum diikat dengan aturan – aturan tertentu dan belum dibatasi dengan tradisi – tradisi tertentu. Sebab pada masa Rasulullah SAW, kehidupann tasawuf sama dengan amal-amal syari’at yang lahir. Antara amal batindan amal lahir bergabung menjadi satu dan tidak ada pemisahan.
Penulis tasawuf dari kalangan sahabat Nabi ialah Huzaifah al-Yamam. Dialah sahabat Nabi yang mementingkan bisikan jiwa, kata batin, damir, dan hati nurani. Tasawuf  dalam masa ini coraknya adalah hidup secara zuhud, sederhana, melakukan amal baik, menjauhi kejahatan, dan hanya menginginkan ganjaran dari Allah semata. Motivasi kegiatan beramal adalah karena mengharapkan sesuatu yang dijanjikan oleh Allah. Dapat disebutkan bahwa tasawuf pada masa ini ditandai dengan rasa peuh pengharapan (raja’).
Tasawuf sunni biasa juga disebut tasawuf ahklaqi karena orang-orang sunni mengamalkan tasawuf untuk memperbaiki akhlaqul karimah. Pada mulanya yang dikenal dalam kehidupan tasawuf adalh zuhud saja, yaitu mementingkan kehidupan sederhan untuk mengabdi kepada Allah. Selanjutnya zuhud ini tumbuh berkembang dengan subur sekali, terutama pada masa terjadinya fitnah dan encana perang saudara di kalangan kaum muslimin pa masa pemerintahan Ustman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Bani Ummayah yang ditegakkan atas dasar keturunan dan kekuasaan.
Pada periode kedua tasawuf ditandai dengan rasa takut atau cemas. Perintisnya adalah Hasan al-Bashri. Beliau mengambil ilmu kerohanian ini dari hudzhaifah. Hasan al-Bashri adalah orang dari kalangan tabi’in yang pertama-tama menyusun metode bicara rohani, cara hidup kerohanian dan menerangkan rahasia kerohanian. Hasan al-Bashri adalah orang pertama yang menunjukkan perhatiannya kearah kehidupan tasawuf. Dia dianggap sebagai pendiri aliran tasawuf karena dia berpendirian bahwa ma’rifat dengan hati adalah jalan iman yang sebaik-baiknya. Pada periode Hasan al-Bashri ini pendorong kehidupam zuhud ialah rasa takut terhadap ancaman api neraka dan murka Allah.
Kehidupan tasawuf pada periode ketiga ditandai dengan rasa cinta. Kehidupan tasawuf pada periode ini tertulis dengan jelas pada kehidupan seorang sufi wanita bernama Rabiah al-Adwiyah. Prinsip ajaran tasawufnya adalah cinta Ilahi, yakni kesediaan mentaati Allah bukan karena menginginkan surga dan bukan pula takut neraka, tetapi semata-mata cinta Allah di atas segala-galanya. Do’anya  yang tersohor dan kerap dikutip untuk melukiskan kecintaannya kepada Allah sarat dengan muatan cinta.
“Ya Rabbi ….. bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka-Mu,
bakarlah diri ini di dalamnaya.
Bila aku menyembah-Mu karena harap ‘kan surga-Mu, jauhkan aku dari sana.
 Namun, jika akau hanya menyembah-Mu hanya demi Engkau,
Maka janganlah Kau tutup keindahan abadi-Mu ….”.
Kemudian diikuti oleh yang lainnya, seperti Zun Nun al-Misri, Haris al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya tasawuf semakin menemukan bentuknya yang lebih jelas dan dianggap salah satu aspek penting pemikiran dan tradisi keilmuan Islam, disamping Fiqh, Kalam, dan Filsafat Islam. Tasawuf pada abad ketiga dan seterusnya mulai mengalami percabangan orientasi: ada yang mengarah kepada tasawuf nazari (falsafi), seperti paham ittihad oleh Abi Yazid al-Bistami, hulul oleh al-Hallaj, dan wihdad al-wujud oleh Ibnu Arabi; adapula yang tetap mempetahankan tasawuf amali (sunni, akhlaqi) seperti al-Qusyairi, al-Ghazali, dan sebagainya; dan ada yang mengarah kepada pembentukan tarekat-tarekat (orde sufi) yang sangat banyak jumlahnya dan berkembang hingga saat ini.

Latihan Pengamalan Tasawuf
Tasawuf pada hakekatnya adalah bagian dari ajaran Islam. Ia merupakan ruh bagi ajaran-ajaran Islam yang bersifat eksoteris dan bentuk spiritualis yang dikembangkan dalam Islam, dimana sumber-sumbernya dapat digali dan ditemukan dalam al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Untuk memperoleh penghayatan tasawuf atau merasakan inti tasawuf, yakni ma’rifatullah, menurut para sufi ada dua jalan, yaitu; melalui maqamat dan ahwal.
Maqam adalah merupakan tingkatan-tingkatan latihan, dengan kata lain, tujuan diatasa dapat diperoleh engan hanya dengan melakukan latihan-latihan batin tertentu yang di ajarkan oleh Nabi. Sedang ahwal adalah anugrah Allah bagi orang-orang yang telah suci jiwanya atau memperoleh ilmu ladduni. Atau dengan konsep lain, yaitu takhalli (mengosongkan diri dari perbuatan jahat), tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan baik), sehingga akan mendapatkan tajalli (penampakan Tuhan; ma’rifat).
Latihan-latihan spiritual yang diajarkan oleh Nabi dan menjadi pegangan kaum sufi sebagai sarana olah batin, yaitu;
  • Taubat , dimana seseorang yang ingin melatih olah rohani harus memulai dengan pernyataan taubat dengan menjauhi kemaksiatan sekecil apapun.
  • Wara’, yaitu meninggalkan semua yang syuhbat atau meragukan tentang halal dan haramnya, yakni latihan untuk selal;u berlaku hati-hati dan berngakat dari keyakinan bahwa yang dimakan, dipakai, dan dibelanjakan adalah betul-betul halal, sehingga kalau sesuatu itu tidak jelas apakah tidak jelas apakah halal atau haram, maka itu akan ditinggalkannya, karena dapat mengotori kesucian hati.
  • Zuhud, yaitu tidak tamak dan tidak ingin mengutamakan kesenangan duniawi. Dalam hal ini kehidupan duniawi tidak akan mengikat hatinya, sehingga melupakan Tuhannya karena kesibukan yang luar biasa. Ajaran ini menyatakan bahwa manusia jangan sampai menjadi budak dunia, tetapi dunialah yang menjadi budaknya (sarana) untuk mengabdi kepada Allah SWT, sehingga andaikata harta yang berlimpah ruah itu lenyap darinya, itu tidak akan mempengaruhi batin dan hatinya dan tidak nampak kesusahan dalam hatinya.
  • Faqir, yaitu seseorang yang mencapai tingkat tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Allah. Sifat orang faqir itu ialah diam saja waktu tak punya apa-apa, dan tidak membutuhkan ketika punya apa-apa. Tanda murka Allah kepada seorang hamba adalah ketakutannya akan faqir.
  • Sabar, yaitu menerima segala bencana atau apaun dengan laku sopan dan rela atau fana’ dalam bala bencana tanpa ada keluhan, yakni tidak ada keluh kesah tanda tak terima terhadap Allah yang telah mentukan apa saja terhadp dirinya.
  • Tawaqqul, yakni pasrah dan bererah diri sepenuhnya kepada Allah melalui jalan hidayah-Nya. Hidayah Allah itulah yang diikutinya dalam hidup ini engan penuh kepercayaan dan kepasrahan mutlak.
  • Ridho, yaitu ajaran dan latihan untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan, karena sikap rela dan senangnya terhadap apasaja yang diberikan Allah dan bentuk persaan cinta yang sangat dalam, sehingga andaikata dimasukkan kedalam neraka sekalipun, tetapi ia mendapat cinta dan ridha Allah maka iapun rela.
Inilah bentuk-bentuk latihan kerohanian dan penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi, dimana seperti kata al-Ghazali, hati itu ibarat cermin (atau radar) yang dapat menerima atau memantulkan cahaya, dengan penuh kepekaan dapat menerima cahaya hidayah ilahi dan dipancarkan untuk kebahagiaan seluruh ummat manusia. Latihan-latihan ini sangat penting dilakukan ummat Islam dalam rangka menciptakan kebersihan dalam seluruh aspek kehidupan. Dan sekali lagi itulah ruh Islam yang dituangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Lalu apa lagi yang harus kita ikuti kalau sudah meninggalkan keduanya.[]
 Wallahu ‘alam bishowab.

*******

Daftar Bacaan:
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din (Mesir: t.p., t.t.)
Abd. Halim Rofi’I. 2000. Tutorial Agama Islam, Unibraw, Malang.
Ahmad Chodjim. 2002. Syeh Siti Jenar Makna Kematian, Serambi, Jakarta.
Rudy Harahap. 2004. 40 Esay Kebeningan Hati Pejalan Rohani, Grafindo, Jakarta.

Minggu, 14 November 2010

Islam dan Teknologi

Mukaddimah

Manusia adalah makhluk yang unik. Ia tahu bahwa ia tahu dan ia tahu bahwa ia tidak tahu. Ia mengenal dunia sekelilingnya dan lebih dari itu ia mengenal dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi, rasa, karsa, dan daya cipta yang digunakan untuk memahami eksistensinya, dari mana sesungguhnya ia berasal, dimana berada dan akan kemana perginya. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul, akan tetapi pertanyaan itu belum pernah berhasil dijawab secara tuntas. Manusia tetap saja diliputi ketidaktahuan. Demikianlah sesungguhnya manusia, siapa saja, eksis dalam suasana yang diliputi dengan pertanyaan–pertanyaan. Manusia eksis di dalam dan pada dunia filsafat dan filsafat hidup subur di dalam aktualisasi manusia.
Berdasarkan rasa, karsa dan daya cipta yang dimilikinya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Namun, perkembangan teknologi yang luar biasa menyebabkan manusia “lupa diri”. Manusia menjadi individual, egoistik dan eksploitatif, baik terhadap diri sendiri, sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, bahkan terhadap Tuhan Sang Penciptanya sendiri. Karena itulah filsafat ilmu pengetahuan dihadirkan ditengah-tengah keaneka ragaman IPTEK untuk meluruskan jalan dan menepatkan fungsinya bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Allah telah mengaruniakan anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi yaitu anugerah agama dan kenikmatan sains teknologi.
Agama dan Ilmu pengetahuan-teknologi merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi. Namun, terlepas dari semua itu, perkembangan teknologi tidak boleh melepaskan diri dari nilai-nilai agama Islam. Sebagaimana adigum yang dibangun oleh Fisikawan besar, Albert Einstin yang menyatakan: “Agama tanpa ilmu akan pincang, sedangkan ilmu tanpa agama akan Buta”.
Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Alquran sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna memelihara diri dalam peperanganmu.” Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh produktif dan inovatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad itu. Tetapi sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu bangsa Barat dengan mudah mengambil dan menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka membuat licik yaitu membelenggu para pemikir Islam sehinggu sampai saat ini bangsa Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejarah Penerapan Teknologi Dalam Peradaban Islam
Di era keemasan Islam, para cendekiawan Muslim telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersifat teknologis sebagai berikut; ilmu jenis-jenis bangunan, ilmu optik, ilmu pembakaran cermin, ilmu tentang pusat gravitasi, ilmu pengukuran dan pemetaan, ilmu tentang sungai dan kanal, ilmu jembatan, ilmu tentang mesin kerek, ilmu tentang mesin-mesin militer serta ilmu pencarian sumber air tersembunyi. Para penguasa dan masyarakat di zaman kekhalifahan Islam menempatkan para rekayasawan (engineer) dalam posisi yang tinggi dan terhormat. Mereka diberi gelar muhandis. Banyak di antara ilmuwan Muslim, pada masa itu, yang juga merangkap sebagai rekayasawan.
Al-Kindi, misalnya, selain dikenal sebagai fisikawan dan ahli metalurgi adalah seorang rekayasawan. Selain itu, al-Razi juga yang populer sebagai seorang ahli kimia juga berperan sebagai rekayasawan. Al-Biruni yang masyhur sebagai seorang astronom dan fisikawan juga seorang rekayasawan.
Selain itu, peradaban Islam juga telah mengenal ilmu navigasi, ilmu tentang jam, ilmu tentang timbangan dan pengkuran serta ilmu tentang alat-alat genial. Menurut al-Hassan, teknik mesin dan teknik sipil yang digolongkan sebagai ilmu matematika, bukan satu-satunya subyek teknologis yang dikelompokkan sebagai sains. Para ilmuwan Muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subyek-subyek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoritis,'' ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam Islamic Technology: An Illustrated History. Sejumlah kitab dan risalah yang ditulis para ilmuwan Muslim tercatat telah mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan teknologis. Menurut al-Hassan, hal itu dapat dilihat dalam sederet buku atau kitab karya cendikiawan Muslim, seperti; Mafatih al-Ulum, karya al-Khuwarizmi; Ihsa al-Ulum (Penghitungan Ilmu-ilmu) karya al-Farabi, Kitab al-Najat, (Buku Penyelamatan) karya Ibnu Sina dan buku-buku lainnya.
Para rekayasawan Muslim telah berhasil membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil berupa; bendungan, jembatan, penerangan jalan umum, irigasi, hingga gedung pencakar langit. Sejarah membuktikan, di era keemasannya, peradaban Islam telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendung jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di Dezful, Iran.
Bendung jembatan itu mampu menggelontorkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu. Setelah muncul di Dezful, Iran bendung jembatan juga muncul di kota-kota lainnya di dunia Islam. Sehingga, masyarakat Muslim pada masa itu tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Selain itu, di era kekhalifahan para insinyur Muslim juga sudah mampu membangun bendungan pengatur air diversion dam. Bendungan ini digunakan untuk mengatur atau mengalihkan arus air. Bendungan pengatur air itu pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.
Pencapaian lainnya yang berhasil ditorehkan insinyur Islam dalam bidang teknik sipil adalah pembangunan penerangan jalan umum. Lampu penerangan jalan umum pertama kali dibangun oleh kekhalifahan Islam, khususnya di Cordoba. Pada masa kejayaannya, pada malam hari jalan-jalan yang mulus di kota peradaban Muslim yang berada di benua Eropa itu bertaburkan cahaya.
Selain dikenal bertabur cahaya di waktu malam, kota-kota peradaban Islam pun dikenal sangat bersih. Ternyata, pada masa itu para insinyur Muslim sudah mampu menciptakan sarana pengumpul sampah, berupa kontainer. Sesuatu yang belum pernah ada dalam peradaban manusia sebelumnya.


Cara Pandang Barat Terhadap Teknologi
Menurut catatan sejarah, bangsa Barat berhasil mengambil khazanah ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh kaum muslimin. Kemudian mereka mengembangkannya di atas paham materialisme tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai Islam sehingga terjadilah perubahan total sampai akhirnya terlepas dari sendi-sendi kebenaran.
Para ilmuwan Barat dari abad ke abad kian mendewa-dewakan rasionalitas bahkan telah menuhankan ilmu dan teknologi sebagai kekuatan hidupnya. Mereka menyangka bahwa dengan iptek mereka pasti bisa mencapai apa saja yang ada di bumi ini dan merasa dirinya kuasa pula menundukkan langit bahkan mengira akan dapat menundukkan segala yang ada di bumi dn langit.
Tokoh-tokoh mereka merasa mempunyai hak untuk memaksakan ilmu pengetahuan dan teknologinya itu kepada semua yang ada di bumi agar mereka bisa mendikte dan memberi keputusan terhadap segala permasalahan di dunia. Sebenarnya masyarakat Barat itu patut dikasihani karena akibat kesombongannya itu mereka lupa bahwa manusia betapapun tingg kepandaiannya hanya bisa mengetahui kulit luar atau hal-hal yang lahiriah saja dari kehidupan semesta alam.
Mereka lupa bahwasanya manusia hanya diberi ilmu pengetahuan yang sedikit dari kemahaluasan ilmu Allah. Di atas orang pintar ada lagi yang lebih pintar. Dan sungguh Allah SWT benci kepada orang yang hanya tahu tentang dunia tetapi bodoh tentang kebenaran yang ada di dalamnya.


Perspektif  Islam Terhadap Teknologi
Peradaban Islam sangat berbeda dengan Yunani, Romawi dan Byzantium dalam memandang teknologi. Para cendekiawan Muslim di era kekhalifahan menganggap teknologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sah. Fakta itu terungkap berdasarkan pengamatan para sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains di Abad Pertengahan.
Demikian pula ajaran Islam ia tidak akan bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern yang teratur dan lurus dan analisa-analisa yang teliti dan obyekitf. Dalam pandangan Islam menurut hukum asalnya segala sesuatu itu adalah mubah termasuk segala apa yang disajikan oleh berbagai peradaban baik yang lama ataupun yang baru. Semua itu sebagaimana diajarkan oleh Islam tidak ada yang hukumnya haram kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti mengherankannya. Bukanlah Alquran sendiri telah menegaskan bahwa agama Islam bukanlah agma yang sempit? Allah SWT telah berfirman yang artinya “Di sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan.” .
Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat telah memasyarakatkan produk-produk teknologi canggih seperti Radio, televisi, internet, alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah lainnya serta menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, kaum muda, atau anak-anak. Namun tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang diakibatkannya. Justru di atas pundak manusianyalah terletak semua tanggung jawab itu. Sebab adanya pelbagai media informasi dan alat-alat canggih yang dimiliki dunia saat ini dapat berbuat apa saja kiranya faktor manusianyalah yang menentukan operasionalnya. Adakalanya menjadi manfaat yaitu manakala manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa dan malapetaka manakala manusia menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan semata.
Kemajuan teknologi dalam dunia kedokteran juga patut untuk kita apresisai secara kritis; proses cloning (bayi tabung) misalnya, telah mendapat tanggapan beragam dari para ulama; Sebagian kelompok agamawan menolak fertilisasi in vitro pada manusia karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya mempermainkan Tuhan yang merupakan Sang Pencipta. Juga banyak kalangan menganggap bahwa pengklonan manusia secara utuh tidak bisa dilakukan sebab ini dapat dianggap sebagai “intervensi” karya Ilahi.
Sebaliknya, Sheikh Mohammad Hussein Fadlallah, seorang pemandu spiritual muslim fundamentalis dari Lebanon berpendapat, adalah salah jika menganggap kloning adalah suatu intervensi karya Ilahi. Peneliti dianggapnya tidak menciptakan sesuatu yang baru. Mereka hanya menemukan suatu hukum yang baru bagi ormanisme, sama seperti ketika mereka menemukan fertilisasi in vitro dan transplantasi organ (http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm).
Professor Abdulaziz Sachedina dari Universitas Virginia mengemukakan bahwa Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan intervensi dalam pekerjaan alami, termasuk pada awal perkembangan embrio untuk meningkatkan kesehatan atau embrio splitting untuk meningkatkan peluang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat, Allahlah Sang pemberi hidup (Sachedina, 2001).
Di sinilah Islam sebagai agama paripurna yang mampu memberikan petunjuk bagi manusia. Ini semua tidak lepas dari karakter agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memang dalam abad teknologi dan era globalisasi ini umat Islam hendaklah melakukan langkah-langkah strategis dengan meningkatkan pembinaan sumber daya manusia guna mewujudkan kualitas iman dan takwa serta tidak ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Khatimah
Peradaban modern adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang gemilang yang telah dicapai oleh manusia setelah diadakan penelitian yang tekun dan eksperimen yang mahal yang telah dilakukan selama berabad-abad. Maka sudah sepantasnya kalau kemudian manusia menggunakan penemuan-penemuannya itu guna meningkatkan taraf hidupnya. Kemajuan teknologi secara umum telah banyak dinikmati oleh masyarakat luas dgn cara yang belum pernah dirasakan bahkan oleh para raja dahulu kala.
Namun seiring dengan upaya meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kita pun harus jeli menentukan pilihan ini. Untuk apakah semua kemajuan itu? Apakah sekadar untuk menuruti keinginan-keinginan syahwat lalu tenggelam dalam kemewahan dunia hingga melupakan akhirat dan menjadi pengikut-pengikut setan? Ataukah sebaliknya semua ilmu dan kemajuan itu dicari untuk menegakkan syariat Allah guna memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan seperti yang dikehendaki Allah serta untuk meluruskan kehidupan dengan berlandaskan pada kaidah moral Islam?
Ada banyak tantangan yang harus kita jawab dengan pemikiran yang berwawasan jauh ke depan. Namun terlepas dari problema dan kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas kita sebagai umat Islam harus selalu optimis dan tetap bersyukur kepada Allah SWT. Karena sungguhpun perubahan sosial dan tata nilai kehidupan yang dibawa oleh arus westernisasi dan sekularisasi terus-menerus menimpa dan menyerang masyarakat Islam tetapi kesadaran umat Islam untuk membendung dampak-dampak negatif dari budaya Barat itu ternyata masih cukup tinggi meskipun hanya segolongan kecil umat yaitu mereka yang tetap teguh untuk menegakkan nilai-nilai Islam.[] Wallahu ‘alam bisshowab.

Sabtu, 13 November 2010

Menempatkan (kembali) Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Nasional

Taufik Firmanto
MIH_UGM_2010_308413

Mukaddimah
Ada suatu hal yang unik dan menggelitik, sekaligus bisa kita jadikan sebagai bahan renungan bersama ketika kita menyimak pidato Presiden AS Barrack Obama di hadapan petinggi negeri, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan intelektual terdidik di kampus Universitas Indonesia Depok, (10/11/2010). Obama menyatakan kekagumannya terhadap Pancasila yang dianggapnya telah mampu menyatukan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Obama memberikan analogi semboyan yang dimiliki oleh negara masing-masing. E pluribus unum – beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman, menurutnya kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah semboyan tersebut. Obama juga menyerukan agar semboyan ‘Bhinekka Tunggal Ika’ dan falsafah Pancasila benar-benar dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Amerika mendukung penuh pembangunan Indonesia dalam hubungan kerjasama di berbagai bidang.
Hal ini setidaknya menyentak alam bawah sadar kita bahwasanya nilai-nilai filosofis Pancasila mendapat respect dan apresiasi yang mendalam dari seorang tokoh besar dunia, sementara kita sebagai anak bangsa cenderung semakin meminggirkan Pancasila sebagai bahan perbincangan ringan maupun diskusi serius guna menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Kita perlu kembali merenungkan hal ini secara lebih jernih, karena dengan mempelajari Pancasila lebih dalam akan menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Jika Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia.
Namun hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, saat ini untuk mendiskusikan Pancasila, kiranya akan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik; masih relevankah? bahkan sikap apatis cenderung sinis akan muncul di sini. Memang harus diakui bahwa membicarakan Pancasila, di era pasca reformasi, menjadi sesuatu hal yang langka, dan mungkin sedikit aneh. Pancasila, seolah-olah tenggelam bersamaan dengan gegap gempita era reformasi yang diikuti euphoria demokratisasi, Pancasila sangat kental aroma Orde Barunya (Suharto) sedangkan pembicaraan mengenai Suharto dan rezim Orde Barunya adalah sebuah perbincangan yang kurang popular di era reformasi, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditinggalkannya. Terabaikannya Pancasila juga dapat dilihat dari dicabutnya Tap MPR nomor 2/1978 tentang P4 dan dibubarkannya BP7, yang berarti secara formal tidak ada lagi lembaga yang mengkaji dan mengembangkan Pancasila. Selain itu UU nomor 20/2003 tentang pendidikan nasional tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Sehingga ke depan generasi muda kita akan kehilangan makna Pancasila, sebagai jati diri bangsa yang digali dari bumi sendiri. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam implementasinya antara harapan dan kenyataan masih jauh dari apa yang diharapkan.

Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau pedoman dasar bagi system pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers kita telah bersepakat secara politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.
Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (baca kembali naskah pidato Ir. Soekarno pada pengukuhan gelar guru besar oleh UGM).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut), sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu (dirumuskan kembali oleh Jimly Asshidqy: 2003 ) mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa depan bangsa Indonesia.


Harapan Kita ke Depan
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di didalam dimensi lainnya, karena didalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).
Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.
Saat ini di bidang hukum terjadi perkembangan yang ironis serta kontra produktif, di satu sisi produk materi hukum, upaya pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, serta rasa keadilan yang ibarat jauh panggang daripada api. Kita masih menyaksikan bahwa mata hokum begitu terasah dan tajam ketika berlaku bagi orang kecil, namun hokum terasa sangat tumpul dan terkesan tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelanggar hokum dari kalangan yang memiliki uang dan kuasa di negeri ini.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena pada saat ini, kecenderungan masyarakat untuk memercayai produk hokum, perilaku aparatur Negara, maupun hasil-hasil proses peradilan formal (yang notabene bersumber dari Pancasila) terasa jauh dari rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di sinilah kita bisa menempatkan kembali Pancasila sebagai symbol pemersatu bangsa, semangat Bhinneka Tunggal Ika perlu kita jewantahkan tidak hanya sebatas semboyan, namun teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat kita semakin merindukan suatu tatanan keadilan social yang mereka dambakan sebagai suatu tatanan kehidupan ekonomi, social budaya, politik, hokum yang bisa memberikan rasa keadilan subtansif, tidak hanya sekedar retorika semata. Semoga.[]

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN POLITIK HUKUM NASIONAL

Taufik Firmanto
MIH_UGM_2010_308413

Latar Belakang Pemikiran
Ada suatu hal yang unik dan menggelitik, sekaligus bisa kita jadikan sebagai bahan renungan bersama ketika kita menyimak pidato Presiden AS Barrack Obama di hadapan petinggi negeri, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan intelektual terdidik di kampus Universitas Indonesia Depok, (10/11/2010). Obama menyatakan kekagumannya terhadap Pancasila yang dianggapnya telah mampu menyatukan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Obama memberikan analogi semboyan yang dimiliki oleh negara masing-masing. E pluribus unum – beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman, menurutnya kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah semboyan tersebut. Obama juga menyerukan agar semboyan ‘Bhinekka Tunggal Ika’ dan falsafah Pancasila benar-benar dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Amerika mendukung penuh pembangunan Indonesia dalam hubungan kerjasama di berbagai bidang.
Hal ini setidaknya menyentak alam bawah sadar kita bahwasanya nilai-nilai filosofis Pancasila mendapat respect dan apresiasi yang mendalam dari seorang tokoh besar dunia, sementara kita sebagai anak bangsa cenderung semakin meminggirkan Pancasila sebagai bahan perbincangan ringan maupun diskusi serius guna menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Hal ini kiranya tidak lepas dari era keterbukaan yang begitu deras menerpa kita pasca Reformasi 1998 dengan semangat demokratisasi, HAM, desentralisasi, otonomi daerah, dll, sehingga membincangkan Pancasila bukanlah sesuatu yang menarik lagi. Di tambah trauma rezim Orde Baru yang membelenggu kita selama + 32 tahun, dengan jargon “bertekad untuk mewujudkan dan melaksanakan kembali Pancasila secara murni dan konsekuen”.
Kenangan ini masih menyisakan trauma yang mendalam, akibat politisasi Pancasila demi kepentingan rezim Orde Baru. Orde Baru telah berhasil menjadikan Pancasila sebagai alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Saat ini untuk mendiskusikan Pancasila, kiranya akan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik; masih relevankah? bahkan sikap apatis cenderung sinis akan muncul di sini. Memang harus diakui bahwa membicarakan Pancasila, di era pasca reformasi, menjadi sesuatu hal yang langka, dan mungkin sedikit aneh. Pancasila, seolah-olah tenggelam bersamaan dengan (a) runtuhnya rezim Soeharto atau Orde Baru, (b) gegap gempita era reformasi yang seolah meminggirkan peran Pancasila sebagai ideology bangsa dan diikuti euphoria demokratisasi yang seakan membebaskan bangsa ini dari belenggu tirani orde baru, dan (c) diterbikannya kebijakan publik mengenai terbukanya organisasi sosial politik menggunakan asas organisasi di luar Pancasila, dengan catatan tidak bertentangan dengan Pancasila dan tetap menggunakan Pancasila sebagai dasar negara.
Terabaikannya Pancasila juga dapat dilihat dari dicabutnya Tap MPR nomor 2/1978 tentang P4 dan dibubarkannya BP7, yang berarti secara formal tidak ada lagi lembaga yang mengkaji dan mengembangkan Pancasila. Selain itu UU nomor 20/2003 tentang pendidikan nasional tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Sehingga ke depan generasi muda akan kehilangan makna Pancasila, sebagai jati diri bangsa yang digali dari bumi sendiri. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam implementasinya antara harapan dan kenyataan masih jauh dari apa yg diharapkan.
Dengan mencermati hal tersebut, maka Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Ideologi
Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau pedoman dasar bagi system pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers negara Indonesia telah bersepakat secara politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani yaitu idea dan logia. Idea berasal dari idein yang berarti melihat. Idea juga diartikan sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Kata logia mengandung makna ilmu pengetahuan atau teori, sedang kata logis berasal dari kata logos dari kata legein yaitu berbicara. Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 - 1836). Ketika bergejolaknya Revolusi Prancis untuk mendefinisikan sains tentang ide. Jadi dapat disimpulkan secara bahasa, ideologi adalah pengucapan atau pengutaraan terhadap sesuatu yang terumus di dalam pikiran.
Dalam tinjauan terminologis, ideology is Manner or content of thinking characteristic of an individual or class (cara hidup/ tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukan sifat-sifat tertentu dari seorang individu atau suatu kelas). Ideologi adalah ideas characteristic of a school of thinkers a class of society, a plotitical party or the like (watak/ ciri-ciri hasil pemikiran dari pemikiran suatu kelas di dalam masyarakat atau partai politik atau pun lainnya). Ideologi ternyata memiliki beberapa sifat, yaitu dia harus merupakan pemikiran mendasar dan rasional. Kedua, dari pemikiran mendasar ini dia harus bisa memancarkan sistem untuk mengatur kehidupan. Ketiga, selain kedua hal tadi, dia juga harus memiliki metode praktis bagaimana ideologi tersebut bisa diterapkan, dijaga eksistesinya dan disebarkan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana dan dilihat dari perspektif ke-Indonesiaan, ideologi bisa diartikan; keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam suatu masyarakat meliputi berbagai aspek (ipoleksosbudhankam), sebagai pedoman dasar dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam arti luas, ideologi diartikan sebagai keseluruhan gagasan, cita-cita, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi sebagai pedoman. Sementara dalam arti sempit, ideology diartikan sebagai ggagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang hendak menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus berpikir, bersikap, dan bertindak.
Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan TYME. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (baca kembali Ir. Soekarno Ilmu dan Amal Geeds Wil Daad pada pengukuhan gelar guru besar oleh UGM, 1951).
Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena Negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut). Tepat 64 tahun usia Pancasila, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia kembali menyelami kandungan nilai-nilai luhur tersebut.
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti tepat di tengah.
Oleh karena ideologi Pancasila bersumber pada manusia Indonesia, maka ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka. Ideologi yang dapat beradaptasi terhadap proses kehidupan baru dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain tetapi konsisten mempertahankan identitas dalam ikatan persatuan Indonesia.
Sejarah Pancasila
Sebenarnya nilai-nilai luhur Pancasila sudah digali sebelum kelahirannya tersebut, tepatnya dalam pemikiran Soekarno di pengasingan pada tahun 1926, bahkan konon jauh sebelum itu, Mpu Prapanca dalam “Negara Kertagama”nya istilah Pancasila itu dimunculkan, sedangkan Mpu Tantular dalam Sutasomanya memunculkan istilah “Bhineka Tunggal Ika,” bahkan dalam pewayangan mengimplikasikan nilai-nilai Pancasila secara tradisional, seperti prinsip “pandawa lima”(?). Pancasila menurut Soekarno adalah berdasarkan budaya bangsa secara “turun- temurun,” “sebagai perasaan-perasaan rakyat yang selama ini terpendam diam-diam dalam hati rakyat”; “Pancasila adalah gambaran pribadi rakyat,” rakyatlah yang menciptakan Pancasila.
Dalam sejarah Indonesia, Pancasila lahir sebagai sebuah ideologi murni. Sebagai sebuah ideologi murni, maka Pancasila cenderung banyak “bersarang‟ dalam dunia idea (istilah Plato) atau pemikiran teoritik. Memang seorang filsuf mengajarkan kebaikan, ajaran filsafat tersebut sebagai pengetahuan atau kumpulan ilmu pengetahuan, tanpa harus membuktikannya sebagai ilmu yang membutuhkan data empirik. Peserta didik di jaman Orde Baru dan masyarakat pada umumnya, sangat kenal dengan istilah “Hari Lahir Pancasila”. Pernyataan serupa ini, pada dasarnya merupakan sebuah reaksi ideologis dalam mendudukkan Pancasila sebagai ideologi murni.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, para founding fathers kita sepakat mendasarkan diri pada ideology Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.
Namun dalam perjalannnya ternyata hal ini tidaklah berjalan mulus. Sejak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme. Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri. Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun rezim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
Pada dekade berikutnya, muncul gejala memosisikan Pancasila sebagai ideologi politik. Memosisikan Pancasila sebagai ideologi politik ini berbeda makna dan imbasnya dengan memposisikan Pancasila sebagai mitos. Pancasila sebagai ideologi politik, muncul dalam bentuk polarisasi struktur dan sosial politik kemasyarakatan.
Contoh nyata dan berdampak nyata dalam menerapkan Pancasila sebagai ideologi politik, yaitu terjadi di era Orde Baru. Pancasila dijadikan sebagai pemisahan kelompok kepentingan. Pada saat itu, penguasa Orde Baru dimaknai sebagai pro Pancasila, dan penentang “penguasa” disebut sebagai kelompok anti-Pancasila. Dengan demikian, polarisasi masyarakat dapat dibelah menjadi dua kelompok, yaitu pendukung Pancasila dan “anti‟ Pancasila. Dalam bahasa orde baru, mereka bertekad memPancasilakan seluruh masyarakat, maka dikembangkan penataran P-4, dan pendidikan Pancasila pada berbagai strata di masyarakat. Orde Baru bertekad untuk mewujudkan dan melaksanakan kembali pancasila secara murni dan konsekuen. Pancasila harus dihayati, dilaksanakan dalam rumusan yang sederhana dan jelas, agar dimengerti, diamalkan mewujud nyata dalam kehidupan dan tingkah laku.
Politik Hukum Nasional
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di didalam dimensi lainnya, karena didalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).
Telah kita sepakati bahwa bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pijakan fundamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.
Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.
Kesimpulan
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.
Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Untuk itulah kita diharapkan dapat menampilkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya satu model narasi akademik yang memperkuat dan memperkokoh ontologi kePancasilaan. Jika Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia. Semoga.[]

Kamis, 04 November 2010

HUKUM KAITANNYA DENGAN IDEOLOGI BANGSA

Membangun Sistem Hukum Indonesia yang Berideologi Pancasila

Oleh: Taufik Firmanto

Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu konsep ‘rechtsstaat’ freedom under the rule of law. Karena itu liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum. Dalam konteks keindonesiaan, kita semua mahfum, bahwa hal tersebut juga berpengaruh secara signifikan dalam bangunan kenegaraan Indonesia. cita Negara Hukum juga telah ditetapkan bangsa ini dalam kehidupan bernegaranya dalam rangka mewujudkan cita-citanya sebagaimana tertuang dalam mukaddimah konstitusi UUD 1945.
Menurut Jimly Assidqhy (2004: 1) Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicitakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo (Lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 48) sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa. Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law.
Dalam perjalanan kenegaraan kita, permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata dan masih terus mengganggu kenyamanan kita bernegara hukum, antara lain: Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan mengenai bentuk negara yaitu republik. Di samping itu secara eksplisit diumumkan pula bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Jadi secara formal Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Akan tetapi, bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku hukum agar benar-benar menjadi negara hukum substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum; sebagian ingin berkiblat ke Barat, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli.
Busyro Muqoddas, dkk (1992: vi) menyatakan Pembangunan hukum nasional yang kita laksanakan bukan hanya sekedar dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan polotik guna membayar hutang sejarah yang belum dilunasi terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan. Tetapi juga dimaksudkan untuk menjawab tuntutan social agar hukum dapat memainkan peranan penting sebagai alat rekayasa social dalam proses pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sampai di sini kita tentunya patut merasa prihatin dengan kondisi bangunan hukum di negeri ini. Kita melihat masih cukup banyak hukum warisan colonial yang masih berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat kita, yang tentunya kurang sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang tumbuh bersama masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki pijakan fondamental yang harus dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu butir-butir pancasila sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945, khususnya alinea ke-4. Pembukaan Konstitusi tersebut di atas, yang memuat butir-butir sila dalam Pancasila, menjadi pedoman yang jelas kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat kedaulatan rakyat semestinya dijadikan prinsip dasar dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks kekinian, semangat tersebut dapat diterjemahkan sebagai pengembangan system politik yang demokratis dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia (HAM).
Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, citacita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan Negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena ideologi Pancasila bersumber pada manusia Indonesia, maka ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka. Ideologi yang dapat beradaptasi terhadap proses kehidupan baru dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain tetapi konsisten mempertahankan identitas dalam ikatan persatuan Indonesia.
Pertanyaan kemudian yang perlu kita jadikan bahan renungan bersama adalah: Apakah perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini telah sejalan dengan butir-butir Pancasila sebagaimana amanat Mukaddimah Konstitusi?[]


Yogyakarta, 3 September 2010

Bahan Bacaan:

Dahlan Thaib, dkk. 2005. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. cet. Kelima. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jimly Assidqhy. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Konstitusi Press. Jakarta.
Mohammad Busyro Muqoddas, dkk (ed). 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional. UII Press, Yogyakarta.
Satjipto rahardjo. 2006.

PERGESERAN NILAI-NILAI DEMOKRASI

Taufik Firmanto

Konsep Dasar Demokrasi
Ranah hukum adalah salah satu dari sekian banyak objek kajian ilmu sosial. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa studi tentang hukum adalah wilayah studi humaniora yang mempelajari manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya kita menyaksikan, bahwa ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, seperti pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hal-hal lainya. Salah satu aspek yang memiliki korelasi dan nilai persinggungan yang cukup signnifikan dengan ranah hukum adalah wilayah politik. Setidaknya ini bisa kita cermati dari berbagai studi tentang politik hukum. Dalam perspektif ke-Indonesiaan kajian ini setidaknya telah dipelopori oleh Moh. Mahfud MD.
Hal ini juga akan semakin menjadi jelas bagi kita, tatkala menyimak lebih lanjut pendapat guru besar bidang ketata-negaraan ini yang menyatakan bahwa, politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
Dalam perspektif penyelenggaraan Negara modern, telah disepakati semacam konsensus yang menyatakan bahwa bentuk pemerintahan terbaik adalah Negara yang bentuk pemerintahannya demokrasi. Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahannya. Bahkan para elite di Negara-negara yang tergolong totaliter dan otoriter pun tidak segan-segan mengklaim bahwa pemerintahannya tergolong demokratis karena Negara diimpikan terkonstruksi untuk rakyat. (Miriam Budiharjo, 1972: 51)
Istilah demokrasi kali pertama diperkenalkan oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau pemerintahan di mana kekuasaan tertentu ada pada tangan rakyat. Demokrasi dalam istilah Abraham Lincoln yaitu Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia, walaupun sebagian kalangan menilai bahwa sistem ini banyak sekali memiliki sisi lemah di sana-sini. Namun sebagai suatu konsep, demokrasi bukanlah konsep yang statis, tetapi secara historis berevolusi. Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” dan “kratos” yang berarti “pemerintahan oleh rakyat”. Tetapi, di kalangan ilmuwan politik, tidak terdapat consensus tentang makna demokrasi itu. Sebagaimana dicatat oleh David Collier dan Steven Levitsky (1997), terdapat 550 sub-type demokrasi dari 150 studi mengenai demokrasi yang ada. Hal ini sebagaimana juga telah ditunjukkan dari hasil penelitian UNESCO pada awal tahun 1950-an yang dikumpulkan lebih dari 100 orang sarjana baik dari negara barat maupun negara timur. Demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.
Pergeseran Nilai Demokrasi
Dari sisi teoritis, ada dua tataran berpikir mengenai demokrasi. Pertama, demokrasi sebagai suatu idea atau konsep, dan kedua demokrasi sebagai praksis gerakan. Sebagai suatu idea atau konsep, telah kita dapati suatu daftar yang teramat panjang mengenai arti, makna dan sikap atau perilaku yang bisa digolongkan demokratis, namun tetap dalam kerangka dasar bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, kebebasan berbicara, berkumpul, berserikat dan kebebasan untuk memilih dan dipilih.
Salah satu aspek kajian penting yang selalu menarik untuk didiskusikan dalam sistem demokrasi adalah tentang tata cara pengambilan keputusan. Dalam alam demokrasi dilakukan dengan musyawarah, mufakat atau dengan suara terbanyak. Dalam musyawarah setiap anggota harus memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara lisan ataupun tertulis. Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah darah hidup setiap demokrasi (Ravitch, 1989: 9). Selanjutnya dikatakan oleh Ravitch warga suatu demokrasi hidup dengan keyakinan bahwa melalui pertukaran gagasan dan pendapat yang terbuka, kebenaran pada akhirnya akan menang atas kepalsuan, nilai-nilai orang lain akan lebih dipahami, bidang-bidang mufakat akan dirinci lebih jelas dan jalan kearah kemajuan terbuka. Inilah sebagian yang hendak dicapai dalam pembelajaran di sekolah yaitu ditemukannya kebenaran terutama kebenaran ilmiah, nilai-nilai yang dianut oleh orang lain dapat dipahami, serta terjalinnya saling menghormati dan kerjasama. Setelah musyawarah dilaksanakan, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan mufakat suara bulat (musyawarah mufakat) atau dengan pemungutan suara terbanyak (votting). Prinsip utama dalam pengambilan keputusan ini adalah bahwa keputusan harus ditentukan oleh mayoritas anggota tanpa mengabaikan kepentingan minoritas (Ravitch, 1989: 6). Setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah atau voting harus didukung oleh kelompok yang semula tidak setuju atau yang kalah dalam voting. Dalam budaya politik masyarakat Indonesia baik pada tataran pemerintahan terendah maupun pada pemerintahan tertinggi (pusat), prinsip demokrasi yang selalu dipakai adalah musyawarah untuk mufakat dalam kekeluargaan (Sihombing, 1984:12).
Namun jika kita cermati lebih teliti, ada beberapa produk hukum kita berupa undang-undang yang mengabaikan nilai-nilai dasar ini, misalnya penafsiran kata “demokratis” yang tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat [4] tentang pemilihan kepala daerah yang mengundang perdebatan di kalangan politisi maupun pakar hukum tata Negara.
Adalah pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen ke-dua yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah. Di sini terjadi polemik yang cukup pelik mengenai bagaimana memosisikan pemilihan kepala daerah (pilkada) vis a vis pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden. Hal ini karena ketentuan UUD 1945 sendiri hanya mengatur bahwa kepala daerah dipilih secara “demokratis” (lihat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Dalam hal ini UUD 1945 tidak menyebut secara tegas bagaimana mekanisme “demokratisasi” kepala daerah.
Mekanisme konstitusional itu tentu akan berbenturan serta mengundang perdebatan panjang ketika kita sandingkan dengan mekanisme pemilihan lainnya seperti seperti pemilihan presiden dan wakil presiden (Pasal 6A), dan pemilu legislatif (Pasal 2 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1)) yang mana pasal-pasal tersebut mengatur mekanisme pemilihan itu melalui Pemilu.
Ada suatu pergeseran nilai yang cukup signifikan ketika kita coba memahami kata “demokratis” ini dan kemudian kita sandingkan dengan penafsiran legislator kita yang menerjemahkannya dengan bentuk mekanisme Pemilukada langsung yang kemudian diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penerjemahan ini menurut beberpa pakar terkesan membabi buta dan tergesa-gesa, karena di samping menempatkan pemilukada dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, juga telah mengabaikan asas-asas musyawarah mufakat.
Kita kemudian juga melihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen. Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia. Jadi, cita-cita Prof. Mahfud untuk “Membangun Politik Hukum (untuk) Menegakkan Konstitusi” nampaknya masih harus diperjuangkan bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi juga oleh segenap bangsa Indonesia.[]

Yogyakarta, 26 September 2010

Telaah Kritis Bangunan Hukum Indonesia; Suatu Analisis Perspektif Hukum Klasik

Telaah Kritis Bangunan Hukum Indonesia;
Suatu Analisis Perspektif Hukum Klasik

Taufik Firmanto


Muqaddimah
Secara kodrati, manusia adalah mahkluq sosial yang secara alamiah pula membutuhkan kehadiran pribadi-pribadi lain dalam menjalankan aktifitas serta menjaga eksistensinya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, manusia membutuhkan manusia lain dalam usahanya mencapai tujuan pribadinya. Atas dasar itulah manusia selalu ingin hidup bermasyarakat atau berkelompok, hal inilah yang juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia menurut kodratnya tidak dapat melepaskan diri dari manusia lainnya.
Dalam mengatur dan mengurus kebutuhan bersama, agar kehidupan berlangsung secara tertib dan damai seperti inilah, maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati. Semacam hal tersebut di ataslah peradaban manusia dimulai, di mana manusia harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. la harus memegangi nilai-nilai aturan yang berlaku mengatur hidup manusia. Nilai-nilai aturan yang mengikat manusia inilah yang kemudian kita kenal sebagai hukum.
Pada mulanya, dalam berbagai literature awal yang memperbincangkan keberadaan hukum (di masa yunani kuno) kita temukan bahwasanya telah terjadi perdebatan yang cukup seru tentang hukum antara kaum filsuf Ionia dengan kaum Sophies. Namun perdebatan mereka tidaklah menemukan perbedaan bahwasanya hukum itu berasal dari suatu kekuatan tak kasat mata, transedental, dan bernuansa religiusitas serta sangat dekat dengan alam semesta (makro kosmos).
Dalam perkembangannya, sebagai bagian dari ilmu social yang bersifat dinamis, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental (lex eterna; hukum Tuhan/ kodrati), hukum para nabi dengan risalah kitab suci yang dibawanya (lex devina), atau berasal dari hukum alam (lex natura) semata, tetapi telah bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum konsep lex humana, yang cenderung bersifat legalistic normatif. Hal ini juga bisa kita temukan pada bangunan hukum Indonesia saat ini.
Filsafat modern yang dikenal dan sangat memengaruhi paradigma berpikir Barat adalah Positivisme Logis. Paham ini tidak mengakui metafisika. Mereka hanya mengakui persepsi panca indera sebagai satu-satunya yang “ada”. Kalangan ilmuan Barat mengakui bahwa dengan adanya filsafat Positivisme Logis, Barat sukses mencapai hasil yang gemilang dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Positivisme Hukum
Di awal abad ke 19 berkembang “positivism”. Aliran ini mejalar kesemua cabang ilmu sosial termasuk ilmu hukum. Kaum positivis menganggap bahwa yang sebenarnya dinamakan hukum hanyalah norma norma yang telah ditetapkan oleh negara. Pada waktu itu, sebagai akibat dari kemajuan-kemajuan dalam bidang industri perdagangan, transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berhadapan dengan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat massif dan melahirkan suatu orde baru tatanan hukum yang tidak ada bandingannya, bukan hanya sampai waktu itu, tetapi juga sampai sekarang. Lahirlah perundang-undangan baru, bidang hukum baru, system dan pengorganisasian baru yang berpuncak pada kodifikasi. Sehubungan dengan itu, kita menyaksikan bagaimana ilmu hukum disibukkan oleh penggunaan metode baru yang mempertajam pengkajian terhadap hukum peraturan perundangan. Perkembangan yang demikian mendorong ilmu hukum dan metode hukum untuk memusat dan berkonsentrasi kepada misi menjaga atau mempertahankan tatanan hukum perundangan baru yang tengah menanjak itu. Metode-metode menjadi sangat normative, positivistik, dan legalistic.
Hal lain yang turut menyuburkan paham ini adalah tuntutan konsep Negara modern yang mewajibkan adanya ketertiban hukum dalam bernegara. Jean Jasque Rousseau (1712-1778) mendalilkan bahwa Negara hasil suatu perjanjian bermasyarakat yang disebut staat, state (status hukum atau status bernegara) maka analisis dalam persoalan kenegaraan berkisar pada hukum yaitu membentuk hukum (legislatif), melayani dan melaksanakan hukum (eksekutif), dan penegakan hukum (yudikatif). Ide ini juga menemukan landasan teoritisnya pada teori pembagian kekuasaannya Montesquieu yang mengintroduksir ide Trias Politica di bidang ketatanegaraan.
Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan postivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional system-sistem yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori bahwa pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. Prinsip-prinsip positivisme yuridis adalah:
a. Hukum adalah sama dengan undang-undang; hal ini didasarkan pemikiran bahwa hukum muncul berkaitan dengan Negara, sehingga hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
b. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral; hukum adalah ciptaan para ahli hukum belaka.
c. Hukum adalah suatu closed logical system.
Untuk menafsirkan hukum tidak perlu bimbingan norma sosial, politik dan moral melainkan cukup disimpulkan dari undang-undang. Tokohnya adalah: R. von Jhering dan John Austin (analytical jurisprudence), atau Hans Kelsen yang terkenal dengan ajaran Teori Hukum Murninya.
Dalam perspektif ke-Indonesiaan, penjajahan oleh barat selama lebih dari 300 tahun adalah pihak yang paling gampang dituding sebagai kambing hitam yang menyisakan wajah hukum Indonesia seperti saat ini. Dalam tata hukum hindia belanda, peminggiran hukum adat Indonesia misalnya bisa kita temukan pada pasal 15 “Algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie” (Peraturan Umum mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia) yang mengatakan, “… adat kebisaaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan itu”. Ini sekaligus secara legal formil menafikkan hukum adat Indonesia yang notabene dipengaruhi oleh kearifan budaya local yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap ajaran para nabi, serta kehidupan yang senantiasa bersahabat dengan alam. Menurut Satjipto Rahardjo (2010: x), suatu perilaku hukum baru mesti dibangun dan dikembangkan untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan, akan tetapi tampaknya tidak mudah merubah perilaku bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka ke arah yang sempurna.
Bagaimana Seharusnya Hukum di Negara Ini Bekerja
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. (Zudan Arif Fakrulloh: 2005)
Dalam bangunan hukum Indonesia saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan produk hukum warisan colonial yang bersifat Positivistik dan legalistic. Ini tentunya perlu menjadi kajian serius bagi kita untuk menghadirkan produk hukum yang sesuai dengan nafas hidup dan falsafah bangsa serta mengakomodir kebutuhan hukum bangsa ini. Ini menjadi penting kita lakukan karena telah kita sepakati bahwa hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme dianggap memberikan sumbangsih pada kemerosotan pada bangsa ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek etika, moral dan keadilan sosial.
Hukum adalah sarana untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. Dalam bahasa bijak orang tua kita, hukum haruslah mencerminkan keadaan tata tenterem karta raharja. Tata-tenterem dapat dikatakan menghukumkan apa yang dianggap baik oleh masyarakat kita; karta-raharja, mengindikasikan suatu perencanaan, perekayasaan, atau perakitan masyarakat yang kita cita-citakan. Sudah seharusnya bangsa yang besar ini menemukan bentuk hukumnya sendiri. Hal ini bisa kita lakukan dengan menggali dari dalam dasar hukum kita, suatu konsep hukum dengan perspektif intregalistik Indonesia yaitu Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Hukum dasar kita menegaskan bahwa pembinaan hukum kita haruslah bersemangat kekeluargaan (gotong royong), dan bukanlah bersifat individualistic. Hukum tidak boleh hanya mengedepankan aspek kepastian hukum yang legalistic formiil belaka, namun juga harus mengakomodir aspek keadilan dan kemanfaatan hukum dengan memerhatikan nilai-nilai etika dan moral yang tumbuh dalam masyarakat. Etika berasal dari bahasa yunani ethos, sedangkan moral berasal dari bahasa latin mores. Keduanya memiliki pengertian the customs or way of life.
Hukum seyogyanya menjadi petunjuk hidup, dengan bahasa yang sederhana kita katakan bahwa keberadaan hukum adalah sebagai alat bagi manusia untuk mencapai kesejahteraanya. Hukum tidak dipahami sebagai suatu institusi yang esoteric dan otonom, melainkan sebagai bagian dari proses social yang lebih besar, sehingga dengan tegas Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa: “law as a great Anthropological Document ”, artinya pemahaman yang memahami hukum sebagai sekumpulan aturan-aturan guna kepentingan profesi sebagaimana pemahaman kaum positivistic harus dirubah dengan penahaman bahwa hukum adalah dokumen antropologis.
Sekarang mari kita lihat rumusan etika moral Pancasila oleh Notonagoro (1975), yang sekaligus akan menperjelas benang merahnya dengan pembahasan awal kita tentang hukum sejak jaman yunani kuno hingga mazhab posivisitic.
Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kemanusiaan, peri keadilan dan peri keadaban.
Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kesatuan dan peri kebangsaan.
Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi kebijaksnaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Hakikat manusia Indonesia ialah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[]

Daftar Bacaan:
Abdul Ghofur Ansori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Anthon F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum, Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan. Genta Publishing, Yogyakarta.
Bernard L Tanya. 2010. Teori Hukum, Startegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Juniarso Ridwan & Achmad Sodik. 2010. Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad ke-20. Penerbit Nuansa, Bandung.
Khuzaifah Dimyati. 2010. Teorisasi Hukum, Studi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Genta Publishing, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum; Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Genta Publishing, Yogyakarta.