Selamat Datang

Selamat Datang di Negeri Kami...!

Suatu negeri yang selama ini cukup lama mengendap pada tataran das sollen, mengristal dalam bentuk serpihan pemikiran yang senantiasa berkelebat, menuntut keberanian kita untuk mewujudkannya pada bentuk yang konkret..!

Bukan hanya angan semata...!

Semoga...!

Sabtu, 13 November 2010

Menempatkan (kembali) Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Nasional

Taufik Firmanto
MIH_UGM_2010_308413

Mukaddimah
Ada suatu hal yang unik dan menggelitik, sekaligus bisa kita jadikan sebagai bahan renungan bersama ketika kita menyimak pidato Presiden AS Barrack Obama di hadapan petinggi negeri, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan intelektual terdidik di kampus Universitas Indonesia Depok, (10/11/2010). Obama menyatakan kekagumannya terhadap Pancasila yang dianggapnya telah mampu menyatukan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Obama memberikan analogi semboyan yang dimiliki oleh negara masing-masing. E pluribus unum – beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman, menurutnya kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah semboyan tersebut. Obama juga menyerukan agar semboyan ‘Bhinekka Tunggal Ika’ dan falsafah Pancasila benar-benar dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Amerika mendukung penuh pembangunan Indonesia dalam hubungan kerjasama di berbagai bidang.
Hal ini setidaknya menyentak alam bawah sadar kita bahwasanya nilai-nilai filosofis Pancasila mendapat respect dan apresiasi yang mendalam dari seorang tokoh besar dunia, sementara kita sebagai anak bangsa cenderung semakin meminggirkan Pancasila sebagai bahan perbincangan ringan maupun diskusi serius guna menemukan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Kita perlu kembali merenungkan hal ini secara lebih jernih, karena dengan mempelajari Pancasila lebih dalam akan menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Jika Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata bagi bangsa Indonesia.
Namun hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, saat ini untuk mendiskusikan Pancasila, kiranya akan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik; masih relevankah? bahkan sikap apatis cenderung sinis akan muncul di sini. Memang harus diakui bahwa membicarakan Pancasila, di era pasca reformasi, menjadi sesuatu hal yang langka, dan mungkin sedikit aneh. Pancasila, seolah-olah tenggelam bersamaan dengan gegap gempita era reformasi yang diikuti euphoria demokratisasi, Pancasila sangat kental aroma Orde Barunya (Suharto) sedangkan pembicaraan mengenai Suharto dan rezim Orde Barunya adalah sebuah perbincangan yang kurang popular di era reformasi, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditinggalkannya. Terabaikannya Pancasila juga dapat dilihat dari dicabutnya Tap MPR nomor 2/1978 tentang P4 dan dibubarkannya BP7, yang berarti secara formal tidak ada lagi lembaga yang mengkaji dan mengembangkan Pancasila. Selain itu UU nomor 20/2003 tentang pendidikan nasional tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Sehingga ke depan generasi muda kita akan kehilangan makna Pancasila, sebagai jati diri bangsa yang digali dari bumi sendiri. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam implementasinya antara harapan dan kenyataan masih jauh dari apa yang diharapkan.

Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau pedoman dasar bagi system pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers kita telah bersepakat secara politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.
Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (baca kembali naskah pidato Ir. Soekarno pada pengukuhan gelar guru besar oleh UGM).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut), sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu (dirumuskan kembali oleh Jimly Asshidqy: 2003 ) mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa depan bangsa Indonesia.


Harapan Kita ke Depan
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di didalam dimensi lainnya, karena didalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).
Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.
Saat ini di bidang hukum terjadi perkembangan yang ironis serta kontra produktif, di satu sisi produk materi hukum, upaya pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, serta rasa keadilan yang ibarat jauh panggang daripada api. Kita masih menyaksikan bahwa mata hokum begitu terasah dan tajam ketika berlaku bagi orang kecil, namun hokum terasa sangat tumpul dan terkesan tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelanggar hokum dari kalangan yang memiliki uang dan kuasa di negeri ini.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena pada saat ini, kecenderungan masyarakat untuk memercayai produk hokum, perilaku aparatur Negara, maupun hasil-hasil proses peradilan formal (yang notabene bersumber dari Pancasila) terasa jauh dari rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di sinilah kita bisa menempatkan kembali Pancasila sebagai symbol pemersatu bangsa, semangat Bhinneka Tunggal Ika perlu kita jewantahkan tidak hanya sebatas semboyan, namun teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat kita semakin merindukan suatu tatanan keadilan social yang mereka dambakan sebagai suatu tatanan kehidupan ekonomi, social budaya, politik, hokum yang bisa memberikan rasa keadilan subtansif, tidak hanya sekedar retorika semata. Semoga.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar